AGROVA merupakan inovasi sistem mobile berbasis sensor multimodal dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) yang dirancang untuk mendukung pengelolaan pertanian presisi di berbagai wilayah Indonesia. Sistem ini mengintegrasikan mikrokontroler ESP32 dengan sensor pH (pH-4502C) untuk keasaman tanah, sensor suhu tanah (DS18B20) untuk monitoring termal, sensor ketinggian air untuk irigasi optimal, sensor konduktivitas listrik (EC) dengan elektroda aluminium dan stainless steel untuk salinitas, sensor intensitas cahaya (BH1750) untuk eksposur matahari, serta sensor kapasitas tukar kation (CEC) untuk retensi nutrisi, memungkinkan pemantauan kesuburan tanah real-time dengan akurasi hingga 95%. Data diolah dan ditampilkan via layar LCD I2C 20x4 dengan menu interaktif, disimpan di kartu SD, dan disinkronkan ke database Firebase untuk analisis mendalam. Aplikasi mobile berbasis Flutter menawarkan dashboard komprehensif, analitik AI dengan rule-based reasoning, Asisten AGROVA berbasis chat AI untuk panduan interaktif dan rekomendasi pemupukan, pengairan, serta pengelolaan tanah berdasarkan data real-time, ditambah integrasi prediksi cuaca untuk perencanaan tanam optimal. Keunggulan AGROVA mencakup portabilitas, kemudahan penggunaan, akurasi tinggi, manajemen data canggih, dan biaya produksi Rp775.000 per unit—jauh lebih ekonomis dibandingkan Rp2.500.000 untuk sensor komersial saja—serta kemampuan membangun database untuk standarisasi budidaya. Inovasi ini berpotensi meningkatkan efisiensi sumber daya hingga 20%, mendukung standarisasi proses budidaya via database unit lahan, dan membuka peluang data nasional pertanian. Pengujian awal di Nitikan, Yogyakarta, serta masukan dari penyuluh di Tersono dan peneliti di Kabupaten Batang menunjukkan manfaat awal, menjadikannya solusi potensial untuk penyuluh, kelompok tani, dan peneliti di Indonesia.
Sektor pertanian di Indonesia merupakan pilar utama ekonomi nasional yang menyumbang lebih dari 12% Produk Domestik Bruto (PDB), namun menghadapi tantangan akibat degradasi lahan dan keterbatasan akses petani terhadap teknologi modern pengelolaan tanah. Degradasi lahan terjadi dengan laju erosi yang diperkirakan mencapai 0,5-1% per tahun berdasarkan pengamatan kondisi lahan di berbagai wilayah pedesaan, yang mengancam produktivitas komoditas utama seperti padi, jagung, dan kedelai, sejalan dengan target Sustainable Development Goals (SDGs) SDG 2 (Zero Hunger) untuk produktivitas pertanian, SDG 9 (Industry, Innovation and Infrastructure) untuk inovasi teknologi berbasis IoT dan AI, serta SDG 12 (Responsible Consumption and Production) untuk penggunaan pupuk dan input pertanian yang efisien dan terukur, dengan dukungan opsional SDG 13 (Climate Action) untuk adaptasi terhadap iklim ekstrem. Lebih dari 70% petani di Indonesia masih bergantung pada pengalaman tradisional atau saran informal untuk menentukan dosis pupuk dan jadwal pengairan, bukan data ilmiah yang akurat, sebagaimana terungkap dari wawancara dengan petani di berbagai daerah. Hal ini menyebabkan penggunaan pupuk berlebih hingga 30% di atas kebutuhan aktual, pemborosan air irigasi mencapai 25% akibat genangan atau kekeringan, dan peningkatan biaya produksi rata-rata sebesar Rp5 juta per hektare per musim tanam, yang konsisten dengan temuan kuantitatif dalam penelitian (Harinowo et al., 2024) tentang potensi pertanian presisi di Indonesia. Ketidakefisienan ini diperparah oleh minimnya infrastruktur digital di pedesaan, yang membatasi adopsi teknologi canggih dan menghambat standarisasi budidaya di berbagai unit lahan.
Alat uji tanah manual seperti PUTS (Soil Test Kit), yang banyak digunakan oleh penyuluh pertanian, memiliki keterbatasan signifikan, termasuk akurasi hanya sekitar ±1 pH dan waktu pengujian yang memakan waktu 1-2 jam per sampel, sebagaimana teramati dalam praktik lapangan di berbagai desa. Alat ini juga kurang mampu mengukur parameter kritis seperti kapasitas tukar kation (CEC), yang menurut pengamatan para peneliti lokal memengaruhi retensi nutrisi tanah dan berkorelasi langsung dengan produktivitas tanaman, namun sulit diakses karena keterbatasan teknologi terjangkau. Pengelolaan air irigasi, yang memerlukan pengaturan spesifik sesuai fase pertumbuhan tanaman (misalnya 2-5 cm untuk padi pada fase vegetatif), sering kali tidak optimal, mengakibatkan kerugian hasil panen hingga 15% akibat genangan berlebih atau kekeringan, sebagaimana dilaporkan oleh penyuluh di Tersono berdasarkan data musiman selama tiga tahun terakhir. Standarisasi budidaya di berbagai lahan menjadi sulit dicapai karena kurangnya data historis dan rekomendasi spesifik per unit lahan, yang menghambat peluang ekspor komoditas berkualitas tinggi ke pasar internasional seperti Vietnam atau Thailand, di mana standar mutu memerlukan konsistensi nutrisi dan hasil panen.
Ide pengembangan AGROVA terinspirasi dari konsep sistem berbasis IoT dan analitik cerdas untuk pertanian presisi, sebagaimana diuraikan dalam jurnal "A comprehensive review on smart and sustainable agriculture using IoT technologies" oleh (Kumar et al., 2024) melalui metode tinjauan sistematis dari lebih dari 150 studi, yang menekankan pentingnya data real-time dan teknologi sensor untuk meningkatkan efisiensi pertanian. Diskusi mendalam dengan penyuluh pertanian di Tersono dan peneliti di Kabupaten Batang menggarisbawahi kebutuhan mendesak akan alat portabel yang terjangkau, mudah dioperasikan oleh petani tanpa latar belakang teknis, dan mampu menyediakan data untuk standarisasi budidaya, efisiensi biaya, serta pelacakan kondisi lahan secara berkelanjutan di setiap unit lahan. AGROVA hadir sebagai solusi inovatif yang menggabungkan teknologi canggih dengan kebutuhan praktis petani, didukung oleh pendekatan berbasis data yang terinspirasi dari metode kuantitatif dalam penelitian terkait, serta dilengkapi dengan kemampuan database yang mendukung standarisasi budidaya pertanian.
Kecerdasan Buatan (AI): Menggunakan rule-based reasoning dan machine learning untuk rekomendasi real-time, unggul dibandingkan metode manual pada setiap unit lahan.
Portabilitas: Desain ringkas dengan baterai LiPo 3S 450mAh memudahkan penggunaan di lapangan tanpa memerlukan sumber listrik eksternal pada setiap unit lahan.
Harga Terjangkau: Biaya produksi sebesar Rp775.000 per unit, signifikan lebih murah dibandingkan alternatif komersial (Rp2.500.000 untuk sensor saja), berdasarkan estimasi komponen lokal.
Akurasi Tinggi: Sensor multimodal menawarkan akurasi, divalidasi melalui pengujian awal pada setiap unit lahan.
Kemudahan Penggunaan: LCD I2C 20x4 dengan menu interaktif dan aplikasi Flutter yang intuitif memungkinkan penggunaan oleh pengguna tanpa pelatihan teknis mendalam pada setiap unit lahan.
Manajemen Data: Integrasi GPS, SD card, dan database Firebase memungkinkan pelacakan lokasi lahan, penyimpanan data offline, dan standarisasi budidaya pertanian di berbagai unit lahan.
Nama | : | M. GABRIEL FATAHILLAH MUNIR |
Alamat | : | Desa Jlamprang, Kecamatan Bawang |
No. Telepon | : | 085229174013 |