Sungai Progo merupakan salah satu sungai besar di Jawa Tengah yang memiliki kekayaan budaya dan sejarah panjang. Namun, modernisasi dan perubahan lingkungan telah menyebabkan penurunan kesadaran dan apresiasi terhadap warisan budaya lokal. Melalui revitalisasi kebudayaan Sungai Progo, diharapkan warisan budaya ini dapat dilestarikan dan dikenal oleh generasi muda serta wisatawan.
Permasalahan utama yang dihadapi adalah penurunan minat dan pengetahuan masyarakat terhadap kebudayaan lokal, serta kurangnya pemanfaatan potensi wisata sungai sebagai sumber ekonomi yang berkelanjutan. Hilangnya tradisi lokal dan kurangnya edukasi lingkungan menjadi tantangan yang perlu diatasi untuk menjaga keberlanjutan ekosistem dan budaya Sungai Progo.
Metode Inovasi: Kelompok Wisata Getek Balong melakukan inovasi mengembangkan berbagai program inovatif untuk merevitalisasi kebudayaan Sungai Progo. Wisata budaya pengalaman naik getek atau rakit bambu menawarkan pengalaman menjelajahi sungai dengan menggunakan rakit bambu tradisional, mengajarkan sejarah dan cara hidup Masyarakat setempat. Selain itu, wisata edukasi alat tangkap ikan tradisional memperkenalkan pengunjung pada teknik dan alat tangkap ikan tradisional, memperkuat pengetahuan dan apresiasi terhadap praktik-praktik nelayan lokal.
Program revitalisasi ini telah berhasil meningkatkan kesadaran masyarakat dan wisatawan terhadap pentingnya pelestarian budaya dan ekosistem Sungai Progo. Selain itu, program ini juga memberikan dampak ekonomi positif bagi masyarakat setempat dengan menciptakan peluang usaha dan lapangan kerja baru dalam sektor pariwisata. Inisiatif ini diharapkan dapat menjadi model bagi daerah lain dalam mengembangkan pariwisata berkelanjutan yang berbasis pada pelestarian budaya dan lingkungan.
Desa Sambeng secara administratif merupakan bagian dari Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Provinsi Jawa Tengah. Desa dengan luas 140 hektar ini terbagi menjadi 6 dusun, yakni Dusun Sambeng I, Dusun Sambeng II, Dusun Kedungan I, Dusun Kedungan II, Dusun Kedungan III, dan Dusun Gleyoran. Pemukiman penduduk menempati total wilayah sekitar 15 hektar, sedangkan lahan sisanya merupakan ladang atau tegalan dan alur sungai. Karenanya, tak heran jika mayoritas masyarakat Sambeng berprofesi sebagai petani palawija. Beragam komoditas ladang atau kebun dihasilkan di desa yang dihuni oleh 414 kepala keluarga itu, baik dari jenis tanaman musiman maupun tahunan, seperti singkong, pisang, kelapa, cabai, durian atau bunga kenanga. Durian menjadi salah satu komoditas tahunan andalan warga Sambeng. Beragam hasil pertanian itu ada yang dikonsumsi secara langsung dan ada juga yang diolah menjadi aneka rupa panganan. Selain dikonsumsi secara pribadi, baik hasil pertanian maupun olahan pangan tersebut ada juga yang dijual, menjadi sumber uang yang nantinya digunakan untuk membeli beras. Maklum, tidak ada petani padi di Sambeng karena kontur tanah dan sumber air yang kurang mendukung untuk melangsungkan pertanian sawah.
Selain komoditas pertanian, Sambeng juga memiliki komoditas perikanan yang dihasilkan dari Kali Progo. Salah satu sungai besar yang ada di Provinsi Jawa Tengah itu melintasi dua wilayah dusun di Desa Sambeng, yakni Sambeng 1 dan Gleyoran. Sama halnya dengan hasil pertanian ladang, komoditas sungai juga menjadi sumber pangan dan ekonomi masyarakat Sambeng, khususnya warga Dusun Gleyoran. Warga dusun yang menempati dasar lembah cukup lebar di tepi Kali Progo itu sangat akrab dengan kehidupan sungai. Mereka mengenali dengan baik setiap lekuk sungai yang ada di wilayahnya itu, termasuk juga karakter dan potensi yang terkandung di dalamnya, seperti mereka mengenali tetangganya sendiri.
Mereka sangat hafal kapan Sungai/kali progo akan memasuki musim banjir dan kapan surut. Mereka mengenali dengan baik jenis ikan apa saja yang ada di sungai, misalnya ikan bader, wader, pelus, uceng, udang, tombro, balar, nila, kutok, jeler, kating, melem, tawes abang dan ikan yang dianggap sebagai primadona sekaligus khas: beong. Mereka juga sangat paham mengenai lokasi-lokasi di mana ikan itu tinggal di sungai tersebut, sesuai jenisnya. Bahkan, mereka juga mengetahui dengan baik kapan ikan-ikan itu akan mijah atau kawin hingga jumlahnya melimpah dan kapan akan sulit didapat. Sehingga, mereka menjadi sangat mengerti bagaimana caranya menangkap ikan di kali tersebut. Ilmu pranatamangsa yang mereka warisi dari leluhurnya sangat membantu dalam menentukan semua hal itu.
Para nelayan tanpa perahu itu demikianlah sebutan bagi para penangkap ikan di Dusun Gleyoran karena memang mereka tidak menggunakan perahu dalam proses menangkap ikannya tidak hanya terampil menggunakan beragam alat tangkap ikan, melainkan juga lihai dalam membuatnya dan mengerti kegunaannya masing-masing. Mereka menggunakan beberapa alat tangkap yang berbeda, misalnya jala, telik, teplak, ayap, slindit atau jaring. Peralatan itu disesuaikan dengan hasil tangkapan yang diinginkan, baik dari segi jenis, ukuran maupun lokasi tinggalnya. Misalnya, mereka menjala ikan dengan menggunakan slindit alat tangkap mirip jala yang memiliki ukuran lebar lebih kecil untuk menangkap ikan di rong, yakni semacam gua berukuran kecil di gigir sungai yang berbatu cadas, sedangkan untuk menangkap sidat atau beong, mereka menggunakan teplak yang berukuran lebih besar dan rapat.
Setali tiga uang dengan kelihaian mereka dalam proses menangkap ikan, demikian pulalah kepandaian mereka dalam cara mengolah hasil tangkapan. Para nelayan Gleyoran memiliki teknik tersendiri dalam mendistribusikan ikan hasil tangkapannya, misalnya penggunaan kepis yang dibuat dari bambu dengan cara dianyam sebagai wadah yang aman untuk menampung ikan sementara waktu dan membawanya dari sungai ke rumah. Begitu pula dengan teknik sapet, yakni pengasapan ikan agar awet dalam perjalanan distribusi saat hendak dijual ke pasar. Selain itu, warga Gleyoran juga pandai dalam memasak ikan hasil tangkapan menjadi beragam hasil olahan, seperti mangut yang menjadi menu andalan. Komoditas perikanan dari Kali Progo itu, oleh warga Gleyoran, dijadikan sebagai sumber konsumsi sekaligus ekonomi. Mereka tidak hanya menggunakannya untuk pemenuhan gizi keluarga dengan cara mengkonsumsinya secara langsung, melainkan juga menjualnya untuk mendapatkan uang guna memenuhi berbagai kebutuhan lain di dalam kehidupan.
Kelekatan pergaulan antara warga Gleyoran dengan Kali Progo tidak hanya menghasilkan ketersediaan pangan, melainkan juga membentuk suatu ekosistem kebudayaan pangan berbasis sungai yang lebih luas. Kali Progo yang mengalami banjir di musim penghujan kerap mengirimkan debit air yang melampaui bibir sungai, sehingga aliran air sekaligus lumpur masuk lebih jauh ke darat, dan menyisakan tumpukan material semacam batu, pasir dan lumpur saat banjir surut. Kondisi ini kemudian menciptakan bantaran sungai yang subur, sehingga warga Gleyoran dan juga Sambeng secara umum dapat menggunakannya sebagai lahan pertanian, baik untuk menanam berbagai jenis komoditas palawija seperti kacang dan jagung ataupun rumput yang digunakan sebagai pakan ternak mereka.
Begitu pula, khususnya di masa lalu, Kali Progo menjadi penghubung antara Desa Sambeng dengan wilayah di seberangnya, Kecamatan Ngluwar dan Muntilan. Menggunakan getek/rakit bambu, dahulu kala warga Sambeng melintasi Kali Progo untuk berniaga dengan menjual komoditas pertanian mereka, untuk kemudian mendapatkan berbagai jenis kebutuhan hidup mereka termasuk beras sebagai pangan pokok dan bahan-bahan makanan lainnya. Sehingga, denyut ekonomi dan kehidupan masyarakat Sambeng terus berjalan. Getek atau rakit bambu dahulu tak sekedar untuk transportasi air biasa, di masa Pembangunan Candi Borobudur, getek difungsikan untuk mengangkut batu andesit dari tengah hingga ke tepian Sungai. Batu-batu itu kemudian dipahat dengan penuh ketelitian hingga membentuk relief dan struktur agung yang kini kita kenal sebagai Candi Borobudur. Di masa kini, fungsi rakit dan kali Progo itu telah tergantikan dengan jembatan dan kendaraan bermotor. Namun demikian, bagi sebagian warga Sambeng, khususnya Gleyoran, rakit dan Kali Progo masih dapat memainkan peran yang serupa. Di musim panas, saat wilayah Gleyoran telah kehabisan rumput hijau sebagai pakan ternak, para warga dusun tersebut menyeberangi Kali Progo menggunakan rakit bambu untuk mencari rumput di wilayah seberang yang lebih subur. Dengan begitu, ketersediaan pangan hewani non ikan di Sambeng tetap memerlukan peran Kali Progo. Demikianlah peran sungai di dalam wilayah produksi atau ketersediaan pangan maupun distribusinya.
Beragam jenis bahan pangan yang bersumber dari Kali Progo atau memerlukan eksistensi sungai tersebut dalam proses ketersediaannya itu kemudian diolah menjadi beragam olahan makanan, baik untuk dikonsumsi secara pribadi sebagai makanan harian, dijual, ataupun dijadikan sajian khusus dalam beragam upacara terkait daur hidup, siklus bulan, maupun selamatan lainnya. Hal ini menunjukkan jejaring pangan dan fungsi Kali Progo atas hal tersebut. Ada banyak jenis makanan selamatan yang lazim disajikan di Tengah masyarakat Sambeng atau khususnya Gleyoran, seperti tumpeng rosul, tumpeng among-among, tumpeng pitu, sega ambeng, sega golong, jenang abang-putih, ingkung, dan lain sebagainya. Beragam makanan tersebut disajikan dalam beragam upacara seperti mitoni, brokohan, khitanan, pernikahan, hingga kematian, termasuk juga selamatan bulan-bulan tertentu seperti saparan dan suro. Upacara-upacara semacam itu kemudian memicu munculnya kohesi sosial dalam bentuk gotong royong, saling menghargai dan saling menghormati. Semua itu menunjukkan eksistensi ketahanan pangan dan urgensi Kali Progo di dalamnya. Jemalin relasi itu menjadi penanda bagi hadirnya ekosistem kebudayaan pangan lokal di Sambeng.
Selain menghadirkan ketersediaan pangan, Kali Progo juga memicu kesadaran warga Sambeng, khususnya Dusun Gleyoran yang bergaul lekat dengan sungai tersebut betapa pentingnya kehadiran sungai itu. Menyadari besarnya peran sungai di wilayahnya itu bagi kehidupan manusia, kesadaran akan kewajiban turut menjaga dan memelihara sungai menjadi hal yang tak terelakkan. Warga Gleyoran menghindari cara-cara penangkapan ikan secara eksesif, seperti penggunaan racun atau setrum. Alih-alih, mereka tetap setia dengan beragam alat tangkap ikan tradisional yang telah ada sejak orang tua mereka hidup. Bahkan, penggunaan alat tangkap tradisional itu pun dilandaskan pada suatu prinsip yang mereka pegang teguh yaitu sak madya atau tidak berlebihan. Dalam hal ini, mereka menangkap ikan dengan menghindari sikap tamak. Baik dalam menjala, memancing, menjaring, maupun penggunaan alat tangkap lainnya, mereka akan mengambil ikan secukupnya, tidak berlebih atau rakus. Karenanya, istilah njala sak madya atau menjala ikan tidak berlebihan menjadi prinsip yang senantiasa diugemi. Dengan cara itu, maka ketersediaan pangan di sungai maupun keseimbangan ekosistem sungai diharapkan dapat terjaga dan lestari, sehingga sungai menjadi sumber pangan yang berkelanjutan.
Selain menerapkan njala sakmadya, guna mengurangi dampak kerusakan terhadap ekosistem sungai dan jumlah ikan, kini sekelompok pemuda Gleyoran juga memulai upaya pemanfaatan Kali Progo dengan cara berbeda. Alih-alih hanya menangkap ikan di Kali Progo guna dijadikan bahan konsumsi maupun komoditas ekonomi, mereka mencoba memanfaatkan sungai dan kebudayaan sungai di kampungnya sebagai wahana wisata edukasi budaya sungai berbasis masyarakat. Revitalisasi kebudayaan Sungai progo untuk wisata edukasi budaya yang berkelanjutan, upaya ini ditempuh guna mengedukasi masyarakat setempat maupun para wisatawan mengenai arti penting sungai dan pengetahuan serta kearifan lokal yang ada. Sehingga, kelestarian ekologi sungai dan pengetahuan lokal dapat dipertahankan. Selain itu, usaha ini juga diharapkan membawa dampak ekonomi yang signifikan, sehingga masyarakat Gleyoran tidak lagi harus terus-menerus menangkap ikan guna mencukupi kebutuhan hidupnya agar keberlangsungan ikan dan ekologi sungai dapat terus terjaga. Dengan begitu, konsep njala sakmadya tetap dapat dilakukan dan bahkan kini diterjemahkan dalam bentuk yang lain, yakni berwujud usaha kolektif masyarakat dengan nama Wisata Getek Balong.
Wisata Getek Balong merupakan sebuah pergerakan kaum milenial dengan peran aktif perempuan muda dalam pengembangan dan pemanfaatan budaya dikawasan Sungai progo untuk wisata edukasi yang berkelanjutan. Teknologi yang sudah berhasil dikembangkan menjadi paket edukasi wisata yaitu getek/rakit bambu, Museum alat tangkap ikan tradisional, cara mengawetkan ikan secara tradisional. Desa Sambeng berada di Kawasan Borobudur, suatu kawasan super prioritas dalam konteks Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), salah satu destinasi wisata yang disebut-sebut sebagai sepuluh Bali baru oleh pemerintah, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016. Karenanya, mempersiapkan Desa Sambeng sebagai salah satu destinasi pendukung Candi Borobudur dengan cara melakukan peningkatan kapasitas potensi wisata sungai yang telah mulai dikelola oleh Masyarakat.
Dengan keindahan alamnya yang mempesona dan kekayaan budaya yang mendalam, kawasan ini memiliki potensi besar untuk menjadi destinasi wisata budaya yang menarik bagi wisatawan lokal maupun internasional. Usaha masyarakat di bidang budaya dan kuliner lokal di kawasan Sungai Progo bertujuan untuk menghadirkan pengalaman wisata yang autentik dan berkesan bagi pengunjung. Wisata getek balong berkomitmen untuk mempromosikan kekayaan budaya dan kuliner lokal yang unik, sehingga wisatawan dapat merasakan keaslian dan keberagaman budaya Indonesia. Selain itu juga memprioritaskan pemanfaatan kebudayaan demi kehidupan desa yang berkelanjutan. Memberikan kesempatan kepada masyarakat setempat untuk terlibat secara aktif dalam pembangunan ekonomi lokal dan melestarikan warisan budaya.
Melalui kolaborasi dengan komunitas lokal dapat menciptakan pengalaman wisata yang bertanggung jawab secara sosial dan lingkungan. Memadukan kekayaan budaya dan kuliner lokal dengan prinsip keberlanjutan, dapat menciptakan dampak positif bagi masyarakat lokal serta meningkatkan daya tarik destinasi wisata Sungai Progo secara keseluruhan. Dengan demikian, usaha masyarakat di bidang wisata budaya dan kuliner lokal di kawasan Sungai Progo tidak hanya bertujuan untuk mengembangkan potensi pariwisata daerah, tetapi juga untuk memperkuat identitas budaya lokal, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan melestarikan warisan budaya bagi generasi mendatang. Nilai-nilai budaya sungai, seperti tradisi getek/rakit bambu atau kesenian lokal, destinasi ini dapat menjadi pusat pendidikan budaya yang menarik bagi wisatawan domestik maupun mancanegara. Selain itu, partisipasi aktif masyarakat dalam pengelolaan dan promosi wisata akan memperkuat rasa memiliki terhadap warisan budaya mereka sendiri, sehingga mendorong pelestarian sungai dan budaya yang terkait dengannya secara berkelanjutan.
Beberapa keunggulan dari inovasi ini meliputi:
Inovasi wisata ini mengusung konsep unik kehidupan ‘Nelayan Tanpa Perahu’, merevitalisasi budaya lokal masyarakat bantaran Sungai Progo sebagai bagian dari upaya pelestarian kearifan lokal yang hampir punah. Keunggulan inovasi ini terletak pada sinergi antara wisata edukatif, pelestarian budaya, pemberdayaan masyarakat, dan keberlanjutan lingkungan khususnya Sungai progo. Melalui pendekatan partisipatif dan berbasis komunitas, wisatawan tidak hanya menjadi penikmat, tetapi juga pelaku langsung dalam pengalaman wisata yang otentik seperti perjalanan dengan getek/rakit bambu. Dulu, getek hanya berupa rakit bambu sederhana. Kini, getek telah dimodifikasi tetap mempertahankan keasliannya namun lebih aman, nyaman, dan menarik. Getek kecil untuk kapasitas 4 orang memiliki lebar 2 meter, panjang 8 meter sedangkan untuk getek besar memiliki ukuran lebar 2,3 meter dan Panjang 14 meter dilengkapi dengan tempat duduk, pelampung, caping, dan tambahan pipa agar getek lebih mengapung serta standar keselamatan lainnya.
Budaya Nelayan Tanpa Perahu menarik perhatian produser kenamaan Hanung Bramantyo, yang kemudian mengangkatnya ke dalam sebuah film berjudul Lingsir Wengi. Tidak hanya itu, sejumlah media televisi nasional lainnya dan media internasional turut meliput dan mengangkat kegiatan kami ke layar kaca. Inovasi ini mengusung pendekatan berbasis partisipasi masyarakat secara aktif, menjadikan warga lokal bukan hanya sebagai objek, tetapi sebagai subjek utama dalam pengembangan wisata budaya. Rumah-rumah warga yang masih mempertahankan arsitektur vernakular khas Jawa seperti rumah limasan, joglo, dan rumah Jawa klasik diangkat sebagai aset wisata yang otentik, sekaligus sarana edukasi arsitektur tradisional bagi pengunjung. Lebih dari itu, pawon tradisional (dapur khas Jawa) yang masih digunakan masyarakat turut dijadikan atraksi wisata budaya, memperkenalkan nilai-nilai kuliner dan filosofi kehidupan tradisional kepada wisatawan, sekaligus menjadi upaya nyata pelestarian budaya yang semakin langka. Inovasi ini juga menekankan pemberdayaan peran generasi muda, khususnya kaum milenial lokal, untuk terlibat langsung dalam manajemen, promosi, dan pelaksanaan wisata edukatif. Dengan cara ini, kegiatan ini tidak hanya menciptakan lapangan kerja dan peluang ekonomi baru, tetapi juga menumbuhkan rasa memiliki dan tanggung jawab terhadap pelestarian budaya lokal.
2. Edukatif & Berkelanjutan,
Melalui integrasi wisata budaya, pelestarian alam dan keterlibatan aktif Masyarakat, inovasi ini tidak hanya memberikan manfaat ekonomi jangka pendek, tetapi juga berkontribusi pada pelestarian lingkungan dan budaya berkelanjutan yang memperkuat identitas lokal serta menjaga nilai-nilai tradisional ditengah arus modernisasi. Inovasi ini dirancang dengan prinsip ramah lingkungan dan konservasi budaya. Penggunaan bahan alami seperti bambu, serta edukasi kepada wisatawan tentang pentingnya menjaga sungai dan lingkungan sekitar menjadi bagian integral dari paket wisata ini. Budaya lokal tidak hanya dipamerkan, tetapi benar-benar dihidupkan dan dijaga keberlanjutannya.
Nama | : | Siti Nur Hidayah |
Alamat | : | Dusun Gleyoran, Desa Sambeng, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang |
No. Telepon | : | 085701105933 |