Pada tahun ini Kabupaten Tegal akan mengalami bencana hidrometeorologi. Namun, kondisi ini dihadapkan dengan masih kurangnya edukasi terkait mitigasi bencana. Salah satu korban yang memiliki potensi besar menjadi korban, yaitu penyandang disabilitas karena penyandang disabilitas belum memiliki kesiapan individu.
Sastra dapat dijadikan media untuk edukasi mitigasi bencana, khususnya cerita pendek atau cerpen. Melalui cerpen penulis dapat menyisipkan pesan moral atau pelajaran hidup yang dapat diimplementasikan oleh pembaca. Selain itu, dengan menyisipkan muatan nilai-nilai local wisdom yang sudah diwariskan secara turun-temurun dapat membantu menjaga alam dan kelestarian kebudayaan.
Dalam menciptakan Buku Cerpak menggunakan Metode RnD dengan pendekatan ADDIE. Oleh karena itu, diciptakan Buku Cerpak atau CERita ngaPAK yang bertujuan untuk mengedukasi mitigasi bencana berbasis augmented reality melalui muatan local wisdom.
Buku Cerpak hadir dengan tiga tema, yaitu Tangisan Langit (banjir), Desiran Nafas Alam (angin kencang), dan Belenggu Dahaga (kekeringan). Buku ini sudah melalui uji validasi yang terbagi menjadi empat aspek, yaitu isi, bahasa, grafika, dan performa fitur. Dari keempat aspek tersebut diperoleh rata-rata nilai sebanyak 92 sehingga termasuk dalam kategori sangat baik. Produk ini sudah melalui proses uji coba terbatas yang terbagi menjadi tiga aspek, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Berdasarkan hasil uji coba Buku Cerpak cukup efektif digunakan dengan persentase N-Gain 58,25%. Selain itu, untuk mengukur kelayakan implementasi Buku Cerpak dilakukan dengan melakukan analisis kelayakan, meliputi analisis kebermanfaatan, SWOT, SMART, dan pentahelix model.
Kata Kunci: Augmented Reality, Buku Cerpak, Local Wisdom, Mitigasi Bencana, Penyandang Disabilitas
Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan bencana. Hal ini dikarenakan letak astronomisnya di wilayah tropis yang menyebabkan curah hujan tinggi sepanjang tahun, serta letak geografisnya yang berada di antara dua samudra (Hindia dan Pasifik) dan dua benua (Asia dan Australia) yang dipengaruhi pola angin muson. Berdasarkan laporan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia pada tahun 2024 terjadi 2.107 bencana yang didominasi oleh bencana hidrometeorologi, seperti banjir, tanah longsor, dan angin kencang (Janati, F., & Ramadhan, A., 2025). Bencana hidrometeorologi terjadi tak terkecuali di Kabupaten Tegal salah satu daerah yang berada di Jawa Tengah. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyampaikan pada awal tahun 2025 (Januari-Februari) Wilayah Tegal memiliki potensi terjadi bencana hidrometeorologi basah, seperti banjir, banjir rob, angin kencang, dan tanah longsor. Hal ini dikarenakan sebesar 67% wilayah Indonesia akan mengalami curah hujan yang tinggi, meliputi sebagian besar Sumatera, sebagian besar Kalimantan, sebagian Jawa bagian barat dan tengah, sebagian Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah dan Selatan, sebagian Maluku, serta sebagian besar Papua Barat dan Papua (Utha., 2024). Tahun 2024 Jawa Tengah menjadi salah satu provinsi yang menyubang bencana hidrometeorologi terbanyak di Indonesia. Tercatat sebanyak 160 bencana hidrometeorologi yang terjadi dari Januari hingga pertengahan Juni, meliputi cuaca ekstrim sebanyak 73 kali, banjir 61 kali, tanah longsor 22 kali, dan kekeringan 4 kali (Fauziyah, T. A., & Rusiana, D. A., 2024).
Pada tahun 2025 Kabupaten Tegal mencetak sejarah. Terjadi banjir yang disebabkan karena hujan selama 3 hari mulai dari (17/1/2025) dengan sebanyak 20 desa terdampak dan terparah di Sidakaton dengan ketinggian air setinggi 1 meter (Putra, D., 2025). Bencana angin kencang pun juga sering melanda di Kabupaten Tegal. Tercatat bencana angin kencang terparah pada tahun 2024 terjadi pada Maret yang mengakibatkan puluhan pohon tumbang dan 88 rumah rusak (60 rumah rusak di Desa Karangmangu dan 28 rumah rusak di Kecamatan Talang) (Adhi, P. P., 2024). Selain itu, Kabupaten Tegal memiliki potensi terjadi krisis air bersih karena kemarau panjang pada September 2024 yang terjadi di 12 desa (Lukmansyah, O., 2024).
Banyaknya bencana yang terjadi, potensi terbesar menjadi korban. Undang-undang Nomor 24 Tahun 2007 menyebutkan bahwa kelompok rentan bencana, meliputi bayi, balita, dan anak-anak, ibu yang sedang mengandung atau menyusui, penyandang disabilitas, dan orang lanjut usia (Adhi, P. P., 2024). Dari beberapa kaum rentan bencana salah satu yang memiliki risiko lebih besar menjadi korban daripada warga sipil lain adalah penyandang disabilitas karena penyandang disabilitas memiliki keterbatasan gerak. Hal ini yang menimbulkan paradigma masyarakat yang menganggap bahwa penyandang disabilitas adalah kaum lemah dan dianggap menjadi objek penerima bantuan saja sehingga sering kali penyandang disabilitas tidak dilibatkan dalam program-program mitigasi bencana (Lukmansyah, O., 2024). Dari seluruh rangkaian mitigasi bencana, upaya perlindungan yang sudah dilakukan kepada kaum rentan bencana hanya terfokus pada pencegahan saja (BPK., 2007). Selaras dengan pernyataan dari United Nations office for Disaster Risk Reduction (UNDRR) bahwa penyandang disabilitas hanya dibekali pengetahuan umum tanpa diberikan ilmu mitigasi bencana yang tepat (Krisanti, M. W., et al, 2022). Kurangnya pengetahuan penyandang disabilitas terkait mitigasi bencana berdampak pada kurangnya kesiapan individu dalam menghadapi bencana sehingga ketika bencana terjadi mereka memilih untuk diam diri dan pasrah. Faktanya temuan survey UNDDR pada 2013 diperoleh sebesar 70% penyandang disabilitas tidak memiliki kesiapan individu dan 17% yang mengetahui rencana manajemen bencana [9]. Oleh karena itu, perlunya edukasi mitigasi bencana yang tepat bagi kaum rentan bencana.
Selain itu, terjadi masalah miskonsepsi terkait mitigasi bencana. Masyarakat beranggapan bahwa mitigasi bencana memerlukan modal yang cukup besar sehingga masyarakat beranggapan bahwa mitigasi bencana menjadi tanggung jawab pemerintah saja. Padahal mitigasi mitigasi bencana menjadi tanggung jawab bersama. Dalam mitigasi bencana terdapat dua jenis yang mitigasi bencana, itu secara struktural dan non struktural (Hayati, A., et al, 2021). Mitigasi bencana secara struktural dapat dilakukan dengan cara upaya pembangunan fisik, seperti pembuatan tanggul, tempat penampungan, dan lain-lainnya (UNDRR., 2020). Langkah ini tentunya memerlukan modal yang cukup besar sehingga menjadi tanggung jawab utama bagi pemerintah. Sedangkan, terdapat langkah mudah dan praktis sehingga seluruh masyarakat dapat melakukannya, yaitu melalui mitigasi bencana non struktural. Langkah mitigasi bencana secara non struktural dapat dilakukan, seperti reboisasi, penghijauan, pendidikan, sosial, dan masih banyak lagi (Prasetyo, B., 2019). Salah satu yang dapat dimanfaatkan untuk mitigasi bencana melalui kearifan lokal atau local wisdom. Local wisdom dapat melalui internalisasi kegiatan rutin masyarakat, seperti karang taruna, kerja bakti, arisan, posyandu, PKK, dan lain-lainnya. Hal ini dikarenakan dalam mitigasi bencana tidak hanya diperlukan kemampuan dan keahlian, tetapi komunikasi yang terjalin dari kerja sama atau gotong royong (Jamrussri, S., & Toda, Y., 2017). Oleh karena itu, mitigasi non struktural menjadi rencana terbaik dalam mitigasi bencana yang sudah menjadi bencana tahunan (Kai, W., Deyi, C., & Zhaohui, Y., 2016). Namun, eksistensi local wisdom mulai menurun karena perkembangan zaman
Salah satu media untuk melakukan mitigasi bencana, khususnya mitigasi bencana non struktural yang memanfaatkan local wisdom adalah sastra. Hal ini dikarenakan sastra mengandung nilai-nilai yang berguna bagi perkembangan karakter seseorang sehingga menjadi media yang sangat efektif untuk mendidik (Wibowo, Y. A., et al, 2019). Terdapat dua jenis sastra, yaitu sastra lama dan sastra moderen. Sesuai dengan perkembangan zaman sastra moderen lebih banyak diminati daripada sastra lama. Sastra moderen memiliki beberapa jenis, seperti puisi, cerpen, dongeng, dan lain-lainnya. Salah satu jenis sastra yang dapat dimanfaatkan sebagai media mitigasi bencana adalah cerpen. Cerpen atau cerita pendek merupakan karangan fiksi mengenai hidup seseorang yang memfokuskan pada kisah salah satu tokoh cerita secara singkat (Bissett Jr, W., Huston, C., & Navarre, C. B., 2018). Cerpen sering digunakan oleh pengarang untuk berbagi pesan moral dalam kehidupan. Para pengarang sengaja menyisipkan pesan moral di dalam cerpen untuk mengajarkan pendidikan moral dan karakter dengan cara yang menyenangkan tanpa menggurui para pembaca dan dapat dijadikan pedoman hidup pembaca. Namun, sumber pembelajaran kesastraan masih sangat minim baik cetak, seperti buku maupun digital, seperti media pembelajaran digital (Tarigan, H. G., 1995). Padahal penggunaan media pembelajaran sastra sangat penting untuk menunjang pembelajaran karena dapat mempermudah pemahaman sehingga proses pembelajaran lebih efektif (Tarsinih, E., 2018). Selain itu, dengan penggunaan media pembelajaran dapat meningkatkan rasa tanggung jawab dan membantu mengingat pembelajaran dalam jangka panjang (Pairin, U., 2022).
Sastra dapat dieksplorasi karena dalam sastra memiliki banyak ide yang berasal dari berbagai sudut pandang terkait kesadaran lingkungan setiap individu (Utami, D. W., et al, 2022). Dalam permasalahan mengenai lingkungan karya sastra, cerita naratif, dan local wisdom dapat dijadikan media pendidikan karakter yang bermanfaat untuk meningkatkan kesadaran terhadap lingkungan (Hasan, M. M., 2021). Oleh karena itu, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mengedukasi masyarakat lebih sadar lingkungan melalui sastra hijau atau ekosastra. Cerita bertema ekosastra yang ditulis bertujuan untuk memberikan himbauan, ajakak, atau sesuatu hal yang dapat menginspirasi dalam menjaga kelestarian lingkungan (Sholihah, R. Y., Utami, U. P., & Rohmalita, V. S., 2021). Penelitian mengenai hubungan tiga cerpen yang berjudul “Bidadari Serayu” (2004) karya Sungging Raga, cerpen “Rumah Air” (2014) karya Anton Kurnia, dan Cerpen “Banjir Kiriman” (2018) di mana ketiga cerpen tersebut menceritakan mengenai kerusakan sungai yang menjadi salah satu contoh kerusakan ekologi dengan dampak yang besar bagi lingkungan dan ekosistem (AlFaruk, A., 2022). Dalam cerpen yang bermuatan mitigasi bencana memiliki isi yang sesuai dengan tujuan pembelajaran di Kurikulum Merdeka pada capaian pembelajaran mengidentifikasi unsur dan struktur cerpen pada pelajaran bahasa Indonesia materi cerita fantasi atau cerpen. Dengan mempelajari unsur dari cerpen yang bermuatan mitigasi bencana akan memberikan pemahaman terkait kesiagaan bencana. Selain itu, dengan melatih kepekaan peserta didik terhadap lingkungan dapat mendukung pendidikan karakter dan Program Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5), yaitu berpikir kritis, mandiri, dan kreatif (Yuliani, Affandy, A. N., & Hermoyo, R. P., 2024). Peserta didik diharapkan lebih peka terhadap permasalahan lingkungan dan mencari solusinya.
Berdasarkan penjelasan di atas diperlukan solusi konkret untuk mengatasi permasalahan tersebut. Oleh karena itu, diciptakan Cerpak atau Cerpak: Buku Cerita Ekosastra Berbasis Augmented Reality Bermuatan Local Wisdom sebagai Upaya Pencegahan Miskonsepsi Literasi Mitigasi Bencana Ramah Disabilitas di Kabupaten Tegal. Harapannya dengan adanya media ini dapat meningkatkan kesigapan bencana dan menurunkan risiko korban, khususnya bagi penyandang disabilitas. Selain itu, Cerpak dapat dimanfaatkan sebagai media pembelajaran sastra yang interaktif dan juga turut serta dalam melestarikan budaya yang ada.
Dalam menganalisis keunggulan produk CERPAK, dilakukan analisis SWOT. Analisis SWOT merupakan salah satu jenis analisis yang digunakan untuk membandingkan antara faktor internal kekuatan dan kelemahan, faktor eksternal peluang dan ancaman dari sebuah inovasi (Puyt, R. W., Lie, F. B., & Wilderom, C. P, 2023) (Chaerani, N., Aji, I. M., et al, 2023) (Utari, N. K., et al, 2024). Analisis SWOT bermanfaat untuk mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman dari Buku Cerpak. Berikut penjelasan hasil analisis SWOT dari Buku Cerpak.
1) Strength
a) Memanfaatkan teknologi augmented reality yang interaktif untuk meningkatkan pemahaman literasi mitigasi bencana dan mendukung digitalisasi pendidikan;
b) Mengintegrasikan muatan local wisdom yang relevan dengan budaya masyarakat setempat;
c) Buku dilengkapi dengan audio yang ramah bagi penyandang disabilitas sehingga meningkatkan inklusivitas;
d) Informasi yang disajikan berbasis faktual sehingga dapat mencegah miskonsepsi literasi mitigasi bencana dan informasi local wisdom;
e) Berpotensi menjalin kerja sama dengan berbagai sektor sesuai dengan konsep pentahelix;
f) Cerpak dapat diintegrasikan pada program Gerakan Literasi Sekolah (GLS).
2) Weakness
a) Biaya pengembangan yang cukup tinggi untuk produksi massal buku berbasis augmented reality;
b) Distribusi ke daerah terpencil menghadapi kendala infrastruktur digital;
c) Waktu pengembangan lebih lama dibandingkan pengembangan media pembelajaran konvensional.
3) Opportunity
a) Mendukung program pemerintah dalam peningkatan literasi bencana di daerah rawan bencana;
b) Potensi pasar yang luas atau tidak hanya di Tegal, tetapi di wilayah lain;
c) Kemitraan strategis di berbagai aspek sesuai dengan konsep pentahelix;
d) Pengembangan konten untuk berbagai jenis bencana dan wilayah di masa depan;
e) Tren peningkatan pemanfaatan teknologi digital dalam digitalisasi pendidikan menjadi peluang besar.
4) Threat
a) Akses internet yang terbatas di beberapa daerah menghambat pemanfaatan fitur augmented reality;
b) Persaingan dengan produk edukasi berbasis teknologi lain yang sejenis;
c) Potensi resistensi dari masyarakat yang belum terbiasa dengan teknologi augmented reality.
5) Strategi S-O
a) Mengoptimalkan teknologi augmented reality dalam literasi bencana;
b) Mengintegrasikan muatan lokal untuk mendukung pelestarian budaya;
c) Inklusi penyandang disabilitas untuk memperluas pasar;
d) Kemitraan strategis dengan pemangku kepentingan;
e) Pengembangan konten multi bencana berbasis teknologi;
f) Promosi melalui kampanye edukasi digital.
6) Strategi W-O
a) Mengajukan dukungan dana dari pemerintah dan mitra strategis;
b) Mengintegrasikan tren edukasi digital untuk distribusi;
c) Melibatkan komunitas lokal dalam distribusi dan edukasi;
d) Mempercepat waktu pengembangan dengan Metode Modular Ekspansi;
e) Pasar untuk meningkatkan efisiensi produksi.
7) Strategi S-T
a) Memanfaatkan muatan local wisdom untuk meningkatkan penerimaan masyarakat;
b) Mengembangkan fitur augmented reality yang efisien dalam penggunaan data;
c) Mengadakan program sosialisasi dan pelatihan teknologi augmented reality;
d) Menonjolkan keunggulan inklusivitas untuk memenangkan persaingan;
e) Mendorong kerja sama dengan penyedia layanan internet;
f) Meningkatkan kolaborasi dengan sekolah dan pemerintah daerah;
g) Menggunakan berbagai media untuk edukasi dan promosi.
8) Strategi W-T
a) Kerja sama strategis untuk menekan biaya dan mempercepat pengembangan;
b) Peluncuran bertahap di wilayah dengan infrastruktur memadai;
c) Menggunakan teknologi hemat data untuk akses lebih luas;
d) Edukasi masyarakat tentang augmented reality;
e) Menonjolkan keunikan Cerpak melalui inklusivitas, serta muatan mitigasi bencana dan local wisdom.
Nama | : | Moh. Rayya Ilham Rehardiyan |
Alamat | : | Jl. Raya Kedungbanteng, Desa Kedungbanteng, Kecamatan Kedungbanteng, Kabupaten Tegal |
No. Telepon | : | 085870390379 |