Media Tanam 3 in 1 ( Media tanam dari pengolahan sampah organik rumah tangga)

Kota Semarang mencanangkan program“ Gerbang Mapan” , Gerakan urban farming dari hulu sampai hilir mengajak masyarakat peduli terhadap lingkungan hidup, dan dengan slogan “ Tanam yang kamu makan dan makan yang kamu tanam ”. Media tanam tempat berkembangnya tanaman, merupakan campuran bahan minimal tanah dan kompos.

Kebutuhan media tanam dalam jumlah banyak dalam urban farming. Penyediaan media tanam dalam urban farming kerap menjadi kendala karena membutuhkan biaya yang besar. Kompos diperoleh dari komposting / Metode mengolah sampah organik menjadi kompos. Komposting umumnya lama,ribet, menimbulkan lindi, bau dan belatung. Untuk menjadi media tanam masih memerlukan tanah untuk campuran dan pot/wadah tanam untuk wadahnya.

Kami kembangkan “Media Tanam 3 in 1”, Metode/Teknologi pengomposan dengan hasil akhir berupa media tanam dalam wadah tanam sekaligus. Selama proses pengomposan tidak perlu diaduk dan tidak menimbulkan bau dan belatung. Komposter; wadah pengomposan menggunakan galon mineral bekas (reuse) yang nantinya juga berfungsi sebagai pot/wadah tanam. Dekomposter; starter pengomposan berbasis fungi. Ragi “Tri Ji” yaitu Trichoderma dan Aspergillus niger. Caranya; bahan organik ditaburi fungi Tri Ji dan ditutup tanah, hal ini dilakukan berulang /berlapis sampai penuh dalam dekomposter tanpa pengadukan. Setelah 3 minggu sudah jadi dan siap ditanami, tanpa pindah wadah.

Sebagian masyarakat Kelurahan Wonodri Kecamatan Semarang Selatan Kota Semarang telah menerapkan inovasi ini dalam penyediaan median tanam dalam urban farming.

Urban Farming/Pertanian Kota yang berarti bercocok tanam dilingkungan rumah perkotaan dianggap sejalan dengan keinginan masyarakat untuk menjalani gaya hidup sehat. Dalam jangka pendek untuk memenuhi kebutuhan pangannya sediri.Sejalan dengan program Kota Semarang “ Gerbang Mapan” , Gerakan urban farming dari hulu sampai hilir mengajak masyarakat peduli terhadap lingkungan hidup, dan dengan slogan “ Tanam yang kamu makan dan makan yang kamu tanam ”

Dalam bertanam kita membutuhkan media tanam sebagai tempat tumbuh berkembangnya tanaman. Media tanam umumnya merupakan campuran bahan minimal tanah dan kompos. Media tanam dibutuhkan dalam kuantiti yang besar. Penyediaan media tanam dalam urban farming merupakan kendala karena membutuhkan biaya yang besar.

Kompos dapat kita usahakan dengan pengolahan sampah organik rumah tangga. Sampah organik penyumbang terbesar sampah dalam kategori jenis sampah, mencapai 70 %. Rumah tangga penyumbang sampah terbesar dalam kategori sumber sampah. Dengan mengolah sampah organik rumah tangga berarti kita turut andil dalam pengurangan sampah (Reduce).

Komposting adalah dekomposisi terkontrol dari bahan baku material organik menjadi humus yang stabil yang disebut kompos. Komposting / Metode mengolah sampah organik menjadi kompos pada umumnya menggunakan Komposter sebagai wadah pengomposan berukuran yang relative besar sehingga waktu panen relative lama. Dekomposter sebagai starter pengomposan berupa bakteri berbentuk cairan sehingga menambah kadar air bahan organik yang menyebabkan lindi penyebab bau dan selama proses pengomposan perlu pengadukan. Selama komposting umumnya menimbulkan lindi, bau dan belatung. Hal tersebut yang kerap masyarakat enggan mengelola dan mengolah sampah organiknya. Untuk menjadikan media tanam, kompos yang dihasilkan perlu dicampur dengan tanah, serta perlu wadah tanam/pot untuk bertanam,

Untuk mengatasi masalah tersebut; Komposter berukuran lebih kecil, panen kompos relative singkat dan komposter ini nantinya bisa dijadikan pot/wadah tanam. Dekomposter berbasis fungi yang berbentuk serbuk kering, tidak menambah kadar air bahan organik, serta waktu dekomposisinya juga lebih cepat. Tanah untuk campuran media tanam serta berfungsi untuk menyerap lindi dan bau yang timbul, sehingga tidak menarik lalat untuk bertelur.

Solusi permasalahan

Bahan .

Permasalahan

Solusi

Komposter

Ukuran Besar,

Waktu “panen” kompos lama ( 4-6 bulan)

Relatif kecil, menggunakan galon bekas, sekaligus sebagai wadah tanam.

Waktu siap tanam singkat (3 minggu)

Dekomposter

Berbasis bakteri,

Berbentuk cairan

Berbasis Fungi, Ragi “Tri Ji”; Trichoderma dan Aspergillus niger

Berbentuk serbuk kering

Perlakuan selama proses

Perlu diaduk bahan selama proses

Bahan dimasukkan sistem berlapis dan tidak perlu diaduk bahan selama proses

Bahan Tambahan

Tidak perlu bahan tambahan

Perlu Tanah untuk pelapis bahan organik dan bikin tidak bau dan belatung

Hal yang timbul

Bau dan belatung

Tidak bau dan belatung

Hasil Akhir

Kompos, untuk mejadi media tanam perlu dicampur tanah

Hasil akhir berupa media tanam organik

Bahan yang digunakan :

  1. Komposter ; wadah pengomposan menggunakan galon mineral bekas (reuse) yang nantinya juga berfungsi sebagai pot/wadah tanam.
  2. Dekomposter; starter pengomposan berupa fungi. Fungi “Tri Ji” yaitu Trichoderma dan Aspergillus Niger.
  3. Tanah; sebagai media tanam dan penyerap lindi serta bau selama proses pengomposan.
  4. Sampah organik rumah tangga, sebagai sumber bahan organik.

Metode:

  1. Dekomposter berupa galon mineral bekas yang dilubangi bagian bawah dan samping.
  2. Masukkan tanah dan daun kering lapisan bawah dekomposter.
  3. Masukkan sampah organik rumah tangga
  4. Taburi dengan Dekomposter/ starter pengomposan “ Tri Ji” dan ditutup dengan tanah.
  5. Buat lapisan ini tiap membuang sampah organik rumah tangga dan tidak perlu diaduk.
  6. Setelah penuh, biarkan selama 3 minggu, sampah organiknya sudah jadi kompos.
  7. Media tanam jadi, siap untuk ditanami dan tidak perlu dipindah wadah. Dekomposter juga berfungsi sebagai pot/wadah tanam.

Sejarah inovasi dan pengembangan produk. Inovasi ini muncul akan kendala kami dalam urban farming dimana kebutuhan akan media tanam dan wadah tanam memerlukan jumlah yang tidak sedikit dan apabila kita beli di pasaran perlu dana yang besar. Sementara sampah organik rumah tangga banyak dihasilkan tiap rumah tangga. Kami mencoba membuat kompos dengan metode yang umumnya dan dengan komposter bantuan dari DLH (Dinas Lingkungan Hidup) Kota Semarang dan dekomposter dari bakteri yang berbentuk cairan. Ternyata butuh waktu lama untuk komposter terisi penuh dan jadi kompos, serta terkendala bau dan belatung selama prosesnya, sehingga ibu rumah tangga enggan menggunakan/ membuat kompos.

Kami teringat metode yang dipakai orang terdahulu dalam membuat kompos, dimana masyarakat membuat lubang tanah tempat membuang sampah organik dan dan menutup tanah apabila sudah penuh. Setelah dibiarkan berapa lama tanpa diaduk sampah sudak menjadi kompos. Kompos bisa dipanen dan atau langsung untuk ditanami. Karena itu kami mencoba metode ini dalam volume yang lebih kecil dan dalam wadah dari sampah plastik gallon air (reuse) dengan dekomposter berbasis jamur.

Ada beberapa warga yang mewarnai gallon air dengan cat, ternyata mempercantik penampilan dan menjadi kamuflase kalau wadah itu adalah komposter, serta menjadikan indah waktu ditata dan tanami. Apabila sudah terisi tanaman dan tumbuh dengan baik ternyata banyak yang mau beli.

Keunggulan :

1. Metode komposting dengan hasil akhir media tanam yang berupa campuran tanah dan kompos

2. Komposter, menggunakan barang bekas /galon air mineral bekas(reuse) nantinya sekaligus sebagai wadah tanam/pot dan berukuran relatif kecil dan cukup untuk wadah tanam/pot

3. Dekomposter, berbasis fungi, fungi “Tri Ji” Trichoderma dan Aspergillus niger berbentuk serbuk

4. Ditaburi dekomposter dan ditutup dengan tanah tiap memasukkan sampah organik dibuat berlapis tanpa diaduk (tidak ribet)

5. Tidak menimbulkan lindi, bau dan belatung.

6. Waktu komposting singkat (3 minggu)

7. Hasil akhir berupa media tanam organik

Nama : Kis Gantoro
Alamat : Jl. Wonodri Baru No. 54 A, Kelurahan Wonodri, Kecamatan Semarang Selatan, Kota Semarang
No. Telepon : 08122 6996 339