FARMA HOME CARE LANSIA

Farma Home care (FHC) merupakan pelayanan yang diharapkan dapat diberikan oleh apoteker untuk penyakit kronis DM di rumah pasien lansia. Apoteker dapat berperan penting memantau penggunaan obat yang rutin digunakan oleh pasien peserta Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis). Tujuan FHC untuk menilai kebutuhan lansia DM di Cilacap, memantau perubahan terhadap pengobatan yang terjadi di rumah pasien, memberikan edukasi dalam penggunaan obat dengan modul, dan memetakan situasi di fasilitas kesehatan primer. Layanan FHC ini menjadi inisiator yang penting untuk mendukung BPJS Kesehatan dalam rangka membuat model pelayanan Manajemen Terapi Obat bagi pasien Prolanis.

Pelaksanaan layanan ini melibatkan enam fasilitas kesehatan tingkat pertama di Kabupaten Cilacap, pasien yang memenuhi kriteria inklusi, beserta pengelola Prolanisnya. Pasien terpantau oleh apoteker mengalami perubahan penggunaan obat ketika berada di rumah. Pengelola Prolanis tidak mengetahui tingkat kepatuhan pasien, sedangkan dokter dan perawat menyatakan bahwa pengetahuan pasien tentang obat masih kurang. Situasi yang dapat menimbulkan ketidakpatuhan pasien adalah tidak adanya pendamping pasien di rumahnya dan ketidakhadiran pasien karena tidak ada yang mengantar.

Layanan ini juga menggunakan rancangan studi one group pre test-post test design yang pesertanya adalah pasien Prolanis yang memenuhi kriteria inklusi. Setelah mendapatkan pelayanan HC farmasi, gula darah pasien yang menjadi subjek penelitian berhasil turun ke rentang normal secara signifikan dan tercegah dari hipoglikemi. Inovasi penting dalam FHC ini adalah integrasi basis data riwayat penggunaan obat sehingga dapat mendukung sistem BPJS Kesehatan. Layanan ini juga sesuai dengan Program GoLanTang BKKBN secara nasional. Apoteker berinovasi memberikan edukasi obat dengan modul untuk penyakit DM Tipe 2 pada lansia.

Farmasis/Apoteker di fasilitas kesehatan primer (puskesmas, klinik dan apotek) merupakan salah satu profesi yang berperan penting dalam model kolaborasi praktik tenaga kesehatan untuk meningkatkan manajemen pengobatan pasien diabetes. Salah satu tugas apoteker adalah melakukan pemantauan obat untuk penyakit kronis yang digunakan oleh pasien di rumah. Hal ini sejalan dengan konsep pelayanan pengobatan di rumah yang akan meningkatkan promosi kesehatan dalam mengkoordinasikan kegiatan di pusat layanan kesehatan. Apoteker di lapangan komunitas perlu menyediakan pelayanan untuk melaksanakan pemantauan terapi obat setelah pasien pulang dari rumah sakit. Di sisi lain, pasien yang mengalami penyakit kronis membutuhkan pengaturan obat ketika berada di rumah (Kayyali dkk., 2019). Berdasarkan kondisi tersebut maka terdapat peluang dan tantangan besar bagi apoteker untuk melakukan terobosan dalam melaksanakan praktik kefarmasiannya.

 

Pemantauan terhadap perubahan terapi obat di rumah pasien oleh apoteker masih jarang dilakukan di Indonesia. Berdasarkan ketentuan rujuk balik Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis), maka seharusnya fasilitas kesehatan primer atau fasilitas kesehatan tingkat pertama meneruskan pelayanan obat rujukan balik dari fasilitas kesehatan rujukan. Namun, seringkali obat yang diperoleh setelah rujuk balik berbeda dengan obat yang diperoleh dari rumah sakit. Selain itu, informasi yang diperoleh pasien saat menggunakan obat sepulang dari rumah sakit maupun dari Prolanis belum memadai.

 

Penelitian yang berfokus tentang kesenjangan penggunaan obat mengungkapkan beberapa kondisi yang dialami oleh pasien penyakit kronis. Masalah tentang ketidakpatuhan penggunaan obat memerlukan solusi yang perlu diperhatikan oleh dokter maupun pasien (Touchette dkk., 2012). Untuk mengatasi masalah kepatuhan penggunaan obat, apoteker telah memiliki kemampuan untuk menjalin hubungan baik dengan pasien sekaligus terjun memberikan solusi terhadap problem yang dialami pasien penyakit kronis. Apoteker memiliki skill untuk menjalin network terhadap dokter dan pasien maupun keluarganya sehingga potensi perannya sangat penting dalam pelayanan obat (Nurfauzi dkk., 2020b). Sebagai contoh, dalam pengobatan DM tipe 2, insulin merupakan obat yang sering diresepkan oleh dokter dan bisa diedukasikan oleh apoteker, baik kepada pasien maupun keluarganya agar kepatuhan terpenuhi (Nurfauzi dkk., 2020a).

 

Berdasarkan latar belakang di atas, diperlukan sistem layanan untuk memantau pengobatan yang telah diterima oleh pasien Prolanis di rumah. Selain itu, perlu dilihat juga perubahan pengobatan seiring dengan pemantauan penggunaan obat, upaya edukasi obat untuk pasien setelah berada di rumah, dan pemetaan situasi yang ada di fasilitas kesehatan primer. Tujuan dari pelayanan ini adalah memantau perubahan obat-obat yang diperoleh pasien Prolanis selama menjalani terapi di rumah, memberikan edukasi dalam penggunaan obat dan memetakan situasi di fasilitas kesehatan primer agar mampu mengungkap situasi yang aktual. Sistem layanan HC farmasi ini diharapkan dapat menjadi salah satu acuan dalam pelaksanaan pemantauan penggunaan obat penyakit kronis, khususnya untuk apoteker sehingga mampu memberikan terobosan dalam pelayanan kefarmasian. Bagi pemberi pelayanan kesehatan seperti fasilitas kesehatan tingkat pertama dan BPJS Kesehatan, program ini dapat dijadikan acuan dalam mengevaluasi kepatuhan pengobatan pasien Prolanis dan pentingnya keterlibatan apoteker dalam pemantauan serta edukasi obat. Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka upaya inovatif dari apoteker diharapkan dapat diterapkan oleh BPJS Kesehatan dan menjadi solusi dari beberapa permasalahan dari kondisi berikut:

 

  1. Permasalahan Penggunaan Obat oleh Pasien di Rumah

Penggunaan obat oleh pasien lansia DM di rumah dapat menimbulkan permasalahan terkait dengan aspek medis yang dikenal dengan Drug Related Problem (DRP) atau Permasalahan Terkait Obat (PTO). Penyakit yang paling sering dialami oleh lansia peserta program pengelolaan penyakit kronis (Prolanis) di Indonesia adalah diabetes mellitus (DM). Masalah penting terkait dengan DM yang merupakan penyakit kronis adalah ketidakpatuhan penggunaan obat, sehingga banyak penelitian yang membahas pentingnya peningkatan kepatuhan dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Hasil penelitian di Malaysia menyatakan bahwa kepatuhan pengobatan dipengaruhi oleh faktor pasien, faktor obat dan faktor sistem kesehatan. Intervensi perilaku, intervensi edukasi, pelayanan yang terintegrasi, manajemen diri, komunikasi resiko, pengemasan obat dan sistem pengingat merupakan contoh-contoh upaya dalam penelitian untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya (Gillani, dkk., 2011) Namun, berbagai metode untuk meningkatkan kepatuhan pada penyakit kronis seringkali kompleks dan tidak efektif (Costa, dkk., 2015).

 

Salah satu bentuk intervensi yang memiliki dampak positif dalam meningkatkan kepatuhan penggunaan obat pada penyakit kronis adalah yang berbasiskan pelayanan di rumah dikaitkan dengan upaya edukasi (Costa, dkk., 2015 dan Lee, dkk., 2015). Apabila dirangkai dengan pelayanan setelah keluar dari rumah sakit, maka tindak lanjut pelayanan di rumah menjadi sangat efektif dan efisien untuk mengurangi Drug Related Problem (DRP) (Garcia-Caballos, dkk., 2010). Pelayanan di rumah atau yang dikenal dengan home care juga menjadi prioritas strategi Asia Tenggara, termasuk Indonesia (WHO, 2014).

 

Intervensi untuk meningkatkan kepatuhan terhadap aturan pengobatan bagi pasien perlu mencakup berbagai kegiatan yang tepat. Beberapa kegiatan yang terpilih dapat diaplikasikan secara simultan, seperti supervisi dan pendampingan dalam mengkonsumsi obat oleh petugas kesehatan, bantuan/pendampingan teknik, edukasi pasien dan kunjungan ke rumah secara regular oleh apoteker (Wehling, 2013). Apoteker dapat melakukan supervisi terhadap pengobatan dan menyederhanakan aturan dosis pada kunjungan lanjutan (Leiva, dkk., 2014). Intervensi yang bersifat teknis seperti melatih perawatan kaki dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, termasuk apoteker, kepada pasien lansia yang mengalami DM tipe 2 sebagaimana yang telah dilakukan di Thailand (Roglic dan WHO, 2016). Teknik inovatif berbasis pelayanan kefarmasian di rumah yang dapat diaplikasikan oleh apoteker adalah manajemen terapi obat (Bailey, dkk., 2016 dan Harlow, dkk., 2017). Hal ini sejalan dengan konsep pelayanan pengobatan di rumah yang dapat dilakukan oleh apoteker komunitas seperti rekonsiliasi obat, mengidentifikasi pasien yang mendapatkan obat yang salah, dosis yang salah, bahkan adanya indikasi yang tidak diobati (Oboh dan Burns, 2010 serta Dilks, dkk., 2016).

 

Berdasarkan ketentuan rujuk balik dan Program Pengelolaan Penyakit Kronis (Prolanis), khususnya untuk DM Tipe 2 dan hipertensi, seharusnya fasilitas kesehatan tingkat pertama atau puskesmas/klinik meneruskan pelayanan obat rujukan balik dari fasilitas kesehatan rujukan. Berdasarkan penelitian di Cilacap, seringkali obat yang diperoleh setelah rujuk balik berbeda dengan obat yang diperoleh dari rumah sakit. Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa Drug Related Problems (DRPs) yang ditemukan di rumah pada pasien DM tipe 2 adalah pasien tidak menggunakan obat karena suatu sebab (28,6%), dosis terlalu rendah (22,8%), efek samping obat (14,3%), dosis terlalu tinggi (8,6%), indikasi yang tidak diterapi (8,6%), pemilihan obat yang tidak tepat (8,6%), dan penggunaan obat tanpa indikasi (5,7%). Selain itu, informasi yang diperoleh pasien saat menggunakan obat sepulang dari rumah sakit maupun dari Prolanis belum memadai (Nurfauzi, 2016). Di sisi yang lain, pelayanan Home care (HC) merupakan amanat dari standar pelayanan kefarmasian, baik di apotek, puskesmas, maupun rumah sakit. Dilihat dari latar belakang tersebut, diperlukan sistem layanan Home care farmasi dengan model edukasi obat dan penyakit khususnya untuk pasien lansia DM Tipe 2. Program ini penting karena DRPs yang muncul di rumah pasien ketika obat digunakan perlu diatasi dengan HC, sedangkan sistem pelayanan HC dan modelnya akan memberikan solusi bila penilaian kebutuhannya relevan dengan kondisi yang ada.

 

2. Kondisi Gula Darah Pasien DM yang Tidak Stabil

 

Kebanyakan pasien dengan diabetes kadar gula darahnya tidak terkontrol dengan baik. Pengecekan gula darah di puskesmas hanya dilakukan sebulan sekali. Gula darah yang dicek saat ini adalah Gula Darah Puasa (GDP). Sebenarnya ada lagi jenis pemeriksaan lagi yang dianjurkan untuk dicek bagi peserta Prolanis, yaitu Gula Darah Sewaktu (GDS) dan Gula Darah Post Prandial (GDPP). Namun, GDS pasien DM tipe 2 di Puskesmas tidak pernah dicek sebagai bagian dari Prolanis. Berdasarkan penelitian Nurfauzi dkk (2016) menunjukkan bahwa kadar gula darah pada pasien diabetes mellitus di wilayah Kota Cilacap tidak stabil.

 

Obat antidiabetes di satu sisi memiliki efek menurunkan kadar gula darah. Di sisi yang lain, pasien DM tipe 2 yang mendapatkan obat antidiabetes secara rutin merasa bahwa obat yang digunakan sudah cukup untuk menjamin kestabilan gula darah sehingga kurang memperhatikan kestabilan gula darahnya. Penelitian Septiar dan Utami (2014) menunjukkan bahwa sebelum dan sesudah pemberian konseling oleh farmasis, rata-rata kadar GDS pasien masih lebih dari 200 mg/dl. Namun, dengan pelayanan kefarmasian yang lebih intensif, ada peluang pengendalian gula darah sewaktu bagi pasien DM tipe 2. Penelitian Lindawati dkk (2010) menyebutkan bahwa empat dari lima pasien yang diintervensi dengan layanan home care mengalami penurunan glukosa darah acak.

 

Masalah ini memberikan kesempatan kepada apoteker untuk memberikan kontribusinya dalam perawatan pasien dengan diabetes melalui kegiatan pendidikan kesehatan. Berdasarkan observasi terhadap pelayanan kefarmasian untuk pasien DM Tipe 2 di RSUD dan puskesmas di wilayah Kota Cilacap, maka dibutuhkan peran apoteker untuk memantau efektivitas penggunaan obat dan memonitor efek samping antidiabetes. Peran farmasis dalam memberikan konseling penggunaan obat pada pasien DM Tipe 2 sangat diperlukan terkait dengan efektivitas dan keamanan obat antidiabetes sehingga berpengaruh terhadap gula darah pasien. Selain itu, peluang kolaborasi antarprofesi kesehatan di rumah sakit dan komunitas dalam memberikan pelayanan untuk pasien DM Tipe 2 sangat diperlukan seperti keterlibatan apoteker bersama dengan dokter dalam pemantauan efektivitas dan keamanan obat di rumah pasien dalam bentuk Home care (HC).

 

Berdasarkan kondisi di RSUD dan Puskesmas di wilayah Kota Cilacap serta observasi terhadap pengobatan lanjutan pasien setelah pulang dari rumah sakit maupun dalam menjalani pengobatan DM dari Prolanis, maka perlu dilakukan program layanan inovatif yang bertujuan untuk menerapkan Home care sehingga dapat mengetahui dan menurunkan gula darah pasien DM Tipe 2 ke rentang normal. Kegiatan tersebut dilaksanakan di rumah pasien yang memenuhi kriteria, salah satunya adalah lansia, untuk diberi pelayanan Home care.

 

3. Perlunya Inovasi Apoteker dalam Pelayanan di Lapangan Komunitas

 

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014, tuntutan konsumen akan mutu pelayanan kefarmasian mengharuskan adanya perubahan pelayanan yang biasanya berorientasi pada produk obat saja, menjadi perubahan pelayanan baru yang berorientasi pada konsumen. Pelaksanaan standar pelayanan kefarmasian yang baik akan meningkatkan kepuasan konsumen (Utami, 2015).

 

Tujuan pelayanan adalah tercapainya derajat masyarakat yang memuaskan harapan dan kebutuhan derajat masyarakat (consumer satisfaction), melalui pelayanan yang efektif oleh pemberi pelayanan yang memuaskan harapan dan kebutuhan pemberi pelayanan (provider satisfaction) serta pada institusi pelayanan yang diselenggarakan secara efisien (institutional safisfaction). Interaksi ketiga pilar utama tersebut dalam pelayanan kesehatan yang serasi, selaras dan seimbang merupakan panduan dari kepuasan tiga pihak dan ini merupakan pelayanan yang memuaskan (satisfactory health care) (Benyamin, 2013).

 

Berhubungan dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia dan peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan publik yang tertuang dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik, maka tidak lepas dari upaya yang dilakukan dengan tujuan pembangunan dan meningkatkan kapasitas dalam hal pemenuhan berbagai kebutuhan masyarakat salah satunya adalah memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat secara khusus terhadap pelayanan publik di bidang kesehatan.

 

Berdasarkan Undang-Undang tentang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009 mengatakan bahwa pelayanan kesehatan yang bermutu dan merata harus selalu ditingkatkan, serta dalam mewujudkan visi Indonesia sehat 2010 yang telah ditetapkan misi pembangunan itu yaitu dengan menggerakkan aspek pembangunan nasional di bidang kesehatan masyarakat khususnya, mendorong masyarakat betapa pentingnya hidup sehat, menjaga dan meningkatkan pelayanan kesehatan yang memiliki kualitas tinggi, merata dan dapat terjangkau serta dapat meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat serta lingkungan.

 

Sumber daya manusia untuk melakukan pekerjaan kefarmasian adalah apoteker (Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan). Kompetensi apoteker adalah sebagai berikut: Mampu menyediakan dan memberikan pelayanan kefarmasian yang bermutu, Mampu mengambil keputusan secara professional, Mampu berkomunikasi yang baik dengan pasien maupun profesi kesehatan lainnya dengan menggunakan bahasa verbal, nonverbal maupun bahasa lokal, Selalu belajar sepanjang karir baik pada jalur formal maupun informal, sehingga ilmu dan keterampilan yang dimiliki selalu baru. Keterampilan inovatif apoteker berbekal kompetensi di atas adalah solusi yang ideal untuk menjawab tantangan tersebut.

Keunggulan layanan FHC ini dibandingkan dengan 2 layanan yang lain di komunitas:

Pembanding Usual Care (non home care) Perkesmas (Perawatan Kesehatan Masyarakat) Farma Home Care (FHC) Lansia
Edukasi tentang obat Satu Arah Tidak ada Optimal
Kemitraan dengan Pasien Tidak Ada Minimal Pasien Sebagai Mitra
Konseling tentang herbal Tidak Ada Tidak Ada Lengkap
Konseling tentang gaya hidup Minimal Ada Terstruktur

Pengukuran parameter laboratorium: Gula Darah, Tekanan Darah

Hanya Gula Darah Puasa dan Tekanan Darah Hanya Gula Darah Sewaktu dan Tekanan Darah Tekanan Darah, Gula Darah Puasa, Gula Darah Sewaktu, Gula Darah Sesudah Makan

Keterangan:

Pelayanan Home care farmasi ini juga memiliki keunggulan dalam hal pendataan dan pemberian konseling obat tradisional. Konseling dan pemantauan dilakukan di rumah dengan melibatkan keluarga dekat apabila pasien didampingi oleh keluarganya dalam menggunakan obat. Pemantauan penggunaan obat tradisional juga dilakukan dengan memberikan saran terhadap penggunaan obat tradisional yang aman. Pasien memperoleh obat tradisional dengan cara membeli sendiri di tempat penjualan jamu. Ada 3 kejadian penggunaan obat tradisional yang dilarang peredarannya oleh BPOM karena mengandung bahan kimia obat yang terpantau dalam pelaksanaan program ini. Peneliti memberikan konseling penggunaan obat tradisional yang aman disertai dengan memberikan materi edukasi berupa daftar obat tradisional yang dilarang peredarannya oleh BPOM RI sehingga pasien menghentikan pemakaian obat tradisional tersebut. Setelah menghentikan penggunaan jamu tersebut, pasien beralih menggunakan rebusan kayu manis dan mengkonsumsi biji jinten hitam.

Nama : Yuhansyah Nurfauzi
Alamat : Jl. Kendil Wesi E 12/24 RT 01/RW 08 , Kelurahan Tambakreja, Kecamatan Cilacap Selatan, Kabupaten Cilacap
No. Telepon : 085643449255