Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia. Sangat penting bagi produk pangan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia untuk memiliki sertifikasi halal. Salah satu produk yang dibutuhkan dalam pembuatan makanan adalah gelatin bubuk (gelatine powder). Terdapat berbagai bahan baku yang digunakan dalam membuat gelatin, diantaranya berasal dari bahan babi (46%), kulit sapi (29,4%), tulang sapi (23,1%) dan sumber lainnya (1,5%). Berdasarkan data, disimpulkan bahwa babi merupakan bahan baku yang paling banyak digunakan dalam pembuatan gelatin. Padahal konsumen muslim dilarang untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung babi. Sedangkan kulit sapi sebagai penyumbang kedua terbesar bahan baku pembuatan gelatin memiliki tantangan dengan dengan adanya penyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalopathy) yang ada di hewan sapi. Oleh karena itu, diciptakan sebuah inovasi yang menjadi jawaban atas berbagai permasalahan tersebut. Produk GENTLE (Gelatin caput ikan lele) menawarkan produk gelatin berbentuk bubuk yang nantinya akan di olah lagi oleh konsumen untuk kebutuhan pangan, farmasi dan kesehatan. Berdasarkan hasil pengujian yang dilakukan, GENTLE memiliki kadar energi 335% berat, Kadar Kolestrol 0% berat, Kadar Protein 150.6% berat, kadar abu 8.18% berat, dan kadar sodium 52.0% berat. Produk ini dapat bertahan lama, karena memiliki kadar air sebesar 0.77% berat. Kadar air yang rendah akan menghasilkan umur simpan produk yang lebih panjang. Nilai kadar air gelatin caput ikan lele memenuhi syarat berdasarkan SNI (1995) yang mensyaratkan 16% dan FAO yang mensyaratkan maksimal 18%.
Kata Kunci : Caput ikan lele, Gelatin, Halal Basic Foo
Indonesia Sebagai negara yang memiliki jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, hal ini menjadikan Indonesia sebagai rumah bagi pasar domestik ekonomi halal terbesar di dunia. Laporan Pasar Halal Indonesia mencatat belanja domestik lintas produk dan jasa ekonomi halal pada 2020 sebesar US$184 miliar dan diprediksi dapat mencapai US$281.6 miliar di 2025. Besarnya pasar ekonomi halal di Indonesia membuka peluang bagi pelaku industri halal untuk mendorong pertumbuhan produksi dan menjadi pemain kunci dalam industri halal global. Hal ini sesuai dengan tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGS (Sustainible Development Goals) dalam mencapai kesejahteraan ekonomi, keberlanjutan sosial, dan tata kelola yang baik.
Bicara mengenai posisi ekonomi halal Indonesia di kancah global, saat ini Indonesia berada di posisi keempat setelah Malaysia, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Industrialisasi produk halal adalah kata kunci untuk bisa meningkatkan posisi Indonesia dalam kancah perdagangan produk halal dan industri produk halal global. Data menunjukkan produksi gelatin mencapai 326.000 ton/tahun di seluruh dunia. Terdapat berbagai bahan baku yang digunakan dalam membuat gelatin, diantaranya berasal dari bahan babi (46%), kulit sapi (29,4%), tulang sapi (23,1%) dan sumber lainnya (1,5%). Berdasarkan Data menunjukkan bahwa bahan baku yang banyak digunakan dalam pembuatan gelatin adalah babi, yang bertentangan dengan kebutuhan pasar halal di Indonesia. Selain itu, penggunaan kulit sapi juga menghadapi tantangan terkait penyakit BSE dan harganya yang mahal. Hal ini menunjukkan bahwa ada tantangan yang perlu diatasi dalam meningkatkan posisi Indonesia dalam perdagangan produk halal, terutama dalam produksi bahan baku halal seperti gelatin.
Data dari BPS pada tahun 2017 Indonesia mengimpor gelatin dari negara lain sebesar 12.787,718 ton, tahun 2018 mengalami kenaikan menjadi 13.131,312 ton, dan ditahun 2019 mengalami kenaikan lagi menjadi 30.938,434 ton. Perkembangan sektor- sektor industri di Indonesia yang cukup pesat membuat impor gelatin mengalami kenaikan setiap tahunnya. Hal ini disebabkan karena gelatin merupakan salah satu bahan penting untuk memenuhi kebutuhan industry makanan, farmasi, kosmetik, dan sektor industry lainnya.
Dalam bidang perikanan, limbah ikan merupakan salah satu permasalahan terbesar dalam industri pengolahan ikan. Limbah ikan dapat mencemari lingkungan baik di darat maupun di perairan. Padahal, limbah ikan masih mengandung protein yang cukup tinggi. Oleh karena itu, pemanfaatan limbah ikan menjadi suatu produk akan mengurangi pencemaran lingkungan dan juga dapat meningkatkan nilai tambah hasil perikanan. (Atma, 2016). Meningkatnya jumlah produksi ikan ini berakibat pada meningkatnya jumlah limbah yang dihasilkan, salah satunya adalah limbah caput lele. Caput lele merupakan limbah pengolahan ikan yang umumnya tidak dimanfaatkan. Caput lele mengandung komponen gizi, antara lain 70% air, 27% protein, 1% lemak, dan 2% abu. Protein merupakan komponen terbesar dalam caput ikan lele. (Fadilla et al., 2019).
Oleh karena itu, diperlukan inovasi produk gelatin dengan bahan baku alternatif yang dapat diterima oleh konsumen muslim dan dapat menjangkau daya beli masyarakat secara luas. Hal ini sangat penting untuk memastikan seluruh kalangan masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam, dapat mengkonsumsi produk halal, baik, aman untuk kesehatan, dan dengan harga yang terjangkau.
Nama | : | MUHAMMAD RIFQI ROSYADI, S. Si |
Alamat | : | Jl. Tambak Lulang rt 02/ rw 03, Ploso, Jati, Kudus |
No. Telepon | : | 088802801209 |