BAKSIA: Sediaan Anti Nyamuk dan Tabir Surya Melalui Pemanfaatan Daun Bandotan, Daun Kersen, dan Lidah Buaya

Indonesia sebagai negara tropis menjadi tempat ideal bagi perkembangan nyamuk Aedes aegypti yang menyebabkan virus DBD. Nyamuk ini aktif di siang hari dan kebiasaan masyarakat beraktivitas di siang hari menjadi salah satu faktor peningkatan kasus DBD di Indonesia. Selain itu, paparan sinar matahari yang tinggi menyebabkan masyarakat lebih memilih menggunakan tabir surya daripada anti nyamuk saat beraktivitas di siang hari karena sinar ultraviolet dapat menyebabkan banyak masalah kulit. Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan pada tahun 2023 terdapat 114.435 kasus DBD dengan 894 kematian di seluruh Indonesia.

Tantangan penyebaran DBD dan paparan sinar UV membutuhkan solusi inovatif yang melindungi masyarakat dari gigitan nyamuk dan sinar matahari secara bersamaan. Penggunaan bahan alami lokal seperti daun bandotan, daun kersen, dan lidah buaya dalam produk BAKSIA (BAndotan KerSen lIdah buAya) menawarkan perlindungan ganda yang efektif dan ramah lingkungan. Produk ini tidak hanya berfungsi sebagai anti nyamuk tetapi juga sebagai tabir surya sehingga sangat cocok bagi masyarakat Indonesia.

Formulasi BAKSIA dikembangkan dengan memanfaatkan senyawa aktif dari tanaman alami yang diekstraksi menggunakan metode infusa. BAKSIA tersedia dalam bentuk spray, gel, dan lotion dengan varian aroma jeruk, mawar, dan lavender yang dijual dengan harga terjangkau yaitu baksia spray sebesar Rp 6000/pcs, baksia gel sebesar Rp. 8500/pcs, dan baksia lotion sebesar Rp. 11.500/pcs.

BAKSIA memiliki nilai ekonomis, IPTEK, dan sosial karena bahan-bahan utama mudah didapatkan serta teknologi produksi ramah lingkungan yang mudah diimplementasikan oleh masyarakat. Hasil inovasi ini dapat berkontribusi dalam mengatasi masalah kesehatan di Indonesia sekaligus mendukung keberlanjutan lingkungan dan ekonomi lokal.

Indonesia sebagai negara tropis dengan iklim yang hangat dan lembab menjadi tempat yang ideal bagi perkembangan nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor pembawa virus penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) (Rachim dkk, 2023). DBD merupakan penyakit komplikasi dari demam yang ditandai dengan demam tinggi, sakit kepala, nyeri tulang dan otot, mual, muntah, ruam, dan kerusakan pada pembuluh darah (Alvionita & Yenny, 2020). Penyakit DBD terjadi secara endemis di Indonesia dengan frekuensi kejadian luar biasanya semakin meningkat tiap tahunnya (Anggraini dkk, 2021). Data dari Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menunjukkan pada tahun 2023 terdapat 114.435 kasus dengan 894 kematian di seluruh Indonesia dan paling banyak terjadi di provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (Kemenkes, 2024). Pada tahun 2024 terjadi kenaikan kasus DBD di beberapa wilayah di Indonesia seperti kota Surakarta. Data dinas kesehatan kota Surakarta menunjukkan kenaikan insiden rate pada minggu 10 tahun 2024 yang semula 2,6% menjadi 5,53% per 100.000 dengan angka kasus sebanyak 32 orang (Dania, 2024).

Kenaikan kasus DBD yang membahayakan bagi manusia memerlukan suatu solusi penyelesaian dan tindakan preventif untuk menekan penyebaran penyakit DBD. Berbagai langkah preventif untuk mengendalikan nyamuk demam berdarah telah ditempuh seperti penggunaan repellent insektisida dengan bentuk spray dan lotion untuk melindungi tubuh dari gigitan nyamuk (Gurning dkk, 2016). Repellent insektisida yang beredar di pasaran berbahan kimia aktif seperti diklorovinil dimethyl phosphate (DDP), diethyltoluamide (DEET), parathion, dan malathion (Kardinan dan Dhalimi, 2010). Penggunaan bahan kimia sebagai repellent nyamuk tidak bisa digunakan secara terus menerus dikarenakan membuat nyamuk menjadi resisten serta berdampak buruk bagi kesehatan kulit seperti iritasi, eritema, ruam dan keracunan sistemik (Broto dkk, 2021). Oleh karena itu, diperlukan alternatif repellent nyamuk yang berbahan alami dengan memanfaatkan tanaman yang banyak tumbuh di Indonesia dan mempunyai kemampuan insektisida alami terutama bagi nyamuk.

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa daun bandotan memiliki potensi sebagai insektisida alami dikarenakan memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder dan steroid yang berfungsi untuk mengusir dan membasmi nyamuk (Mangalik dkk, 2023). Senyawa metabolit sekunder dapat mengganggu indera penciuman pada nyamuk dengan cara menghalangi protein reseptor bau (odorant receptor proteins) yang terdapat pada specialized Odor Receptor Neurons (ORN) di antena nyamuk sehingga menyebabkan nyamuk tidak mampu lagi mendeteksi mangsanya (Tunjung & Khair, 2019). Selain itu, senyawa steroid bekerja sebagai racun saraf dengan cara menggambar transpor ion dan neurotransmisi yang menyebabkan gangguan pada sistem saraf sehingga nyamuk akan lemas (Hidana, 2015).

Nyamuk Aedes aegypti sebagai vektor DBD merupakan nyamuk yang bersifat diurnal atau aktif di siang hari ( Agustin dkk, 2019). Aktivitas menggigit biasanya mulai pagi sampai sore hari antara jam 08.00–10.00 dan 15.00-17.00 (Zen, 2017). Kebiasaan masyarakat beraktivitas di siang hari menjadi salah satu faktor kenaikan kasus DBD di Indonesia. Paparan sinar matahari yang tinggi di Indonesia menyebabkan masyarakat Indonesia lebih memilih menggunakan tabir surya (sunscreen) daripada repellent nyamuk ketika melakukan aktivitas di siang hari. Hal ini dikarenakan sinar ultraviolet (UV) pada sinar matahari dapat menyebabkan banyak masalah kulit, mulai dari kulit terbakar dan kusam hingga penuaan dini bahkan kanker kulit (Veronica dkk, 2021). Kanker kulit menempati urutan ketiga kanker terbanyak di Indonesia setelah kanker rahim dan kanker payudara dengan prevalensi kasus 5,9% hingga 7,8% setiap tahunnya (Ningsih dkk, 2021).

Pemanfaatan daun bandotan sebagai repellent nyamuk dikombinasikan dengan bahan alam yang mengandung senyawa kimia untuk tabir surya. Daun kersen memiliki potensi sebagai tabir surya (Widyawati dkk, 2019) karena mengandung senyawa saponin,  flavonoid,  polifenol dan tanin yang berfungsi untuk menyerap dan menghamburkan sinar UV (Puspitasari dkk, 2018). Pemanfaatan daun bandotan dan daun kersen sebagai repellent nyamuk dan tabir surya dikombinasikan dengan lidah buaya yang mengandung glukomanan dan aloin sehingga dapat melembabkan kulit (Hanzola dkk, 2015) dan meredakan iritasi pada kulit sensitif (Lusiana dkk, 2020) sehingga produk yang akan dihasilkan dapat digunakan untuk kulit sensitif. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti berinovasi untuk menciptakan BAKSIA (BAndotan KerSen lIdah buayA) sebagai sediaan  anti nyamuk dan tabir surya

BAKSIA (BAndotan KerSen lIdah buAya) merupakan inovasi unggulan yang menggabungkan manfaat kesehatan dari bahan-bahan alami lokal Indonesia, yaitu daun bandotan, daun kersen, dan lidah buaya menjadi produk multifungsi yang melindungi dari gigitan nyamuk serta paparan sinar UV. BAKSIA menawarkan perlindungan ganda melalui kombinasi unik yang membedakan dengan produk-produk sebelumnya yang hanya fokus pada satu fungsi. Daun bandotan mengandung senyawa metabolit sekunder dan steroid yang efektif sebagai repellent alami, sementara daun kersen berfungsi sebagai tabir surya berkat kandungan saponin, flavonoid, polifenol, dan tanin yang mampu menyerap dan menghamburkan sinar UV. Lidah buaya mengandung glukomanan dan aloin yang tidak hanya melembabkan kulit tetapi juga meredakan iritasi sehingga membuat produk baksia aman digunakan oleh individu dengan kulit sensitif.

Nama : Muhammad Sofwan Amir
Alamat : Gg. Serayu VIII No.2, Semanggi, Kec. Ps. Kliwon, Kota Surakarta, Jawa Tengah 57118
No. Telepon : 089624822929