SALE: SAGON LEYE. USAHA PENGEMBANGAN EKONOMI MELALUI KREATIVITAS MAKANAN TRADISIONAL DALAM KEWIRAUSAHAAN

Wiwit Juliawan Dari. “SALE: SAGON LEYE. USAHA PENGEMBANGAN EKONOMI MELALUI KREATIVITAS MAKANAN TRADISIONAL DALAM KEWIRAUSAHAAN”. Proposal Krenova. Wonosobo: Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah Kabupaten Wonosobo. 2023

Pengembangan kreativitas masyarakat dengan memanfaatkan sumber daya alam (SDA) adalah hal yang patut dicontoh. Menciptakan produk-produk baru atau mengubah hal kecil menjadi hal besar juga merupakan tugas generasi penerus bangsa saat ini. Budaya lokal yang perlahan luntur harus dimunculkan kembali, baik melalui dunia pendidikan dalam mata pelajaran tentang budaya Indonesia maupun melalui perantara umum seperti memamerkannya langsung kepada masyarakat. Semua budaya dalam tanah air memiliki hak milik dan hak paten kepemilikan suatu daerah. Karenanya kita harus saling menghargai antarsesama daerah dan melestarikannya. Begitupun dengan kota dingin Wonosobo kita yang memiliki budaya sendiri, baik dalam adat, tari, makanan, dan lain sebagainya. Olehnya marilah kita kenalkan budaya kita pada dunia dan kembangkan kreativitas serta inovasi dalam diri kita melalui ‘KRENOVA’. Sama halnya dengan Sagon Leye yang kita inovasikan sekarang merupakan kolaborasi budaya yang menghasilkan produk unggulan baru, dari Leye makanan lokal khas Wonosobo dengan Sagon makanan khas Daerah Istimewa Yogyakarta. Pengembangan ini bermaksud untuk kembali menarik minat masyarakat terutama Remaja Generasi sekarang untuk kembali mengenal budaya lokal dan melestarikannya. Serta tujuan lainnya adalah untuk peningkatan ekonomi sebagai ide kewirausahaan baru.

Kata Kunci: Leye, Makanan, Sagon, Tradisional

Setiap daerah tentu saja mempunyai ciri khas tersendiri. Hal ini dapat terjadi karena suatu daerah memiliki sejarah nenek moyang yang berbeda, dan mempunyai sumber daya alam (SDA) yang berbeda-beda pula. Bisa kita katakan juga ketika berkunjung ke luar daerah di Nusantara tentu setiap melintasi kota kita dapat melihat tugu maupun patung yang kadang menjadi simbol ikonik dari daerah tersebut. Tak terkecuali Wonosobo yang mana mempunyai tugu Carica sebagai simbol oleh-oleh khas Wonosobo. Buah ini sangat identik sebagai icon Wonosobo karena buah ini hanya bisa hidup di dataran Tinggi Dieng. Namun, bagaimana jika sekarang saya mengatakan leye? Apakah generasi milenial seperti sekarang masih mengenal makanan yang juga merupakan makanan pokok khas Wonosobo?

Tak heran, dengan terus seiringannya perkembangan teknologi banyak hal-hal tradisional yang mulai tenggelam ditelan zaman. Hal ini terjadi lantaran banyak generasi penerus yang terkena dampak globalisasi hingga akhirnya enggan untuk melestarikan budaya karena menganggap hal terebut kuno dan tertinggal zaman. Kurangnya minat kesadaran masyarakat untuk melestarikan produk lokal juga menjadi faktor hilangnya suatu budaya.

Oleh karenanya, Pemerintah turun tangan untuk ikut andil dalam masalah ini dan membuat sebuah program Kreativitas dan Inovasi atau yang kita sebut sebagai ’KRENOVA’. Walaupun dalam program ini tidak semuanya tentang pelestarian budaya namun lebih fokus dalam mengembangkan pikiran untuk berinovasi dan berkreativitas. Bagi saya melestarikan budaya dengan berinovasi lebih baik, jadi saya mengajukan proposal dengan judul “SALE: SAGON LEYE. USAHA PENGEMBANGAN EKONOMI MELALUI KREATIVITAS MAKANAN TRADISIONAL DALAM KEWIRAUSAHAAN” sebuah usaha pengembangan kreativitas dan inovasi dengan mengusung tema “Industri Kreatif” dalam melestarikan budaya sekaligus mengembangkan ekonomi.

Dari sekian banyak makanan khas Wonosobo siapa yang masih mengingat leye? Leye kerap diidentikkan dengan makanan rakyat jelata, mungkin karena dulunya banyak masyarakat yang mengkonsumsi leye dari pada beras padi yang harganya jauh lebih mahal, sedangkan leye lebih banyak dikonsumsi karena mudah didapat dan terbuat dari bahan dasar murah yaitu singkong, walaupun cara pembuatannya memerlukan waktu yang lama. Meski demikian, makanan pokok lokal ini sekarang mulai sulit ditemukan bahkan di pedesan sudah tidak sebanyak orang dulu yang memproduksi. Seperti alasan tadi, perkembangan zaman mempengaruhi ekonomi masyarakat hingga sekarang masyrakat telah banyak mengkonsumsi beras padi sebagai makanan pokok dan melupakan leye (Beras Singkong). Perbedaan selera lidah juga sangat terlihat dari remaja sekarang yang lebih banyak  mengkonsumsi makanan instan dibanding jajanan tradisional. Contoh saja hanya untuk membeli atau ingin mencicipi Cenil (Jajan tradisional khas Jawa), banyak yang gengsi dan lebih memilih boba karena dinilai lebih modern. Padahal untuk kandungannya tentu saja sangat baik jajanan-jajanan tradisional daripada makanan instan yang banyak mengandung pengawet, pewarna instan, maupun pemanis buatan.

Leye merupakan olahan sampingan dari pengolahan tapioka, sehingga kadungan yang dimiliki leye lebih rendah. Karenanya ketika kita mengkonsumsi leye kita harus menambah makanan lain untuk melengkapi kandungan gizi tersebut. Walaupun demikian, nyatanya leye memiliki kandungan lebih baik daripada nasi beras padi dan cocok digunakan sebagai menu diet pengganti nasi putih, karena mengandung karbohidrat kompleks yang tinggi dan rendah indeks glikemik.

Setelah mendengar kilas balik tentang leye munculkah rasa ingin mencicipinya? Tapi dengan bentuk yang masih sama adakah minat untuk tetap ingin mencicipinya? Bagaimana jika dikreasikan menjadi sebuah inovasi kekinian yang mungkin remaja zaman sekarang tidak akan lagi gengsi untuk membelinya. Akan tetapi perlu diingat, kita harus terus melestarikan budaya lokal. Tidak semua hal lokal harus dikombinasikan maupun dicampurkan dengan hal lainnya agar menghasilkan produk baru, karena jika hal ini terjadi tentu saja akan berpengaruh negatif yaitu budaya asli akan luntur karena tertimbun hal baru walaupun dengan dasar lokal. Ingat juga banyak budaya tradisional Indonesia sampai ke luar negeri, yang menandakan bahwa produk tradisional Indonesia memang sudah di akui dunia.

Pernahkah kalian mendengar istilah sagon? Jajanan tradisional dengan bahan dasar kelapa yang disangrai atau dipanggang. Makanan ini merupakan makanan khas dari Daerah Istimewa Yogyakarta namun banyak juga ditemukan diberbagai daerah tak terkecuali Wonosobo. Biasanya makanan ini berbahan dasar parutan kelapa dan tepung ketan  lalu disangrai dan dipangang. Tepung ketan sudah wajar jika dijadikan bahan pembuatan jajanan tradisional, banyak makanan-makanan tradisional maupun jajanan yang terbuat dari beras ketan/pun tepungnya. Jika beras ketan dapat dijadikan tepung mengapa leye (beras singkong) tidak demikian?

Dari hal tersebut muncul lah pikiran untuk membuat produk baru, Sagon Leye. Sagon dengan bahan dasar yang sama namun mengganti bahannya yang tadinya berbahan dasar tepung ketan menjadi tepung leye. Butiran-butiran kasar leye digiling hingga menghasilkan tekstur yang lebih halus sehingga bisa menggantikan tepung ketan. Nantinya sagon leye akan memberikan rasa maupun bentuk yang sedikit berbeda dari sagon pada umumnya.

Jika dillihat dari tekstur maupun bentuknya tentu saja Sagon Leye sangat berbeda. Sagon yang biasanya bertekstur empuk dan berbentuk bulat sangat berbanding balik dengan Sagon Leye yang mempunyai tekstur tersendiri dimana bentuknya dibuat persegi panjang dan kering. Namun ini tidak mengurangi rasa yang ada pada sagon, justru menambah minat bagi yang mencoba karena terdapat sensasi tersendiri saat mencobanya. Bentuknya yang praktis serta kemasan yang memadai memberikan nilai lebih bagi produk ini untuk menjadikannya sebagai pilihan cemilan. Terlihat modern dan unik karena baru pertama kalinya hadir diantara masyarakat.

Nama : Wiwit Juliawan Dari
Alamat : Jalan Raya No.KM 03, Mendolo, Bumireso, Kec. Wonosobo, Kabupaten Wonosobo
No. Telepon : 08814158664