Indonesia dengan sumber daya alam yang melimpah termasuk komoditas tambang mineral seperti emas dan batu bara sudah memprediksi sejak pertengahan tahun 1980-an bahwa akan ada kenaikan permintaan Bahan Bakar Minyak (BBM) yang tidak selaras dengan kesediaan minyak mentah yang terus berkurang. Tahun 2022 tercatat bahwa permintaan solar subsidi pertamina sebanyak 16 juta kiloliter yang semula hanya ditargetkan sebanyak 14,05 juta kiloliter. Permintaan bahan bakar ini naik sekitar 14% dari tahun sebelumnya. Adanya peningkatan penggunaan BBM dapat menyebabkan berbagai masalah lingkungan. Oleh karena itu perlu sikap nyata untuk lebih peduli terhadap kesehatan lingkungan. Beberapa studi menyebutkan bahwa limbah minyak jelantah dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar ramah lingkungan. Salah satu inovasinya yaitu pembuatan bio solar yang memiliki karakteristik sama dengan BBM pada umumnya namun emisi gas buang yang dihasilkan jauh lebih baik.
Pengolahan minyak jelantah dengan metode esterifikasi metanol dan katalis KOH berhasil menghasilkan bio solar dengan indeks setana 56,8; densitas 887,5 kg/m3; titik nyala 162 oC; kandungan sedimen 0% wt; total bilangan asam 0,2 mg KOH/g; dan memiliki warna jernih cerah. Hasil uji di atas sesuai dengan SK Dirjen Migas No. 0234.K/10/DJM.S/2019 tanggal 11 November 2019 tentang Standar dan Mutu (Spesifikasi) Bahan Bakar Minyak Jenis Solar Campuran Biodiesel 30% (B-30) yang dipasarkan di dalam negeri. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengolahan minyak jelantah sebagai bio solar ini dapat di implementasikan langsung oleh masyarakat dan dapat diterapkan pada mesin diesel di lingkungan mereka. Langkah kerja pada metode esterifikasi yang digunakan dapat diadaptasi dengan mudah oleh semua kalangan masyarakat.
Persediaan minyak bumi saat ini mulai menipis seiring dengan peningkatan penggunaannya di bidang industri maupun transportasi. Pada saat ini, banyak negara terutama Indonesia kekurangan bahan bakar minyak bumi seperti bahan bakar diesel atau solar sehingga perlu mengimpor bahan bakar dalam jumlah yang besar. Peningkatan kebutuhan minyak bumi khususnya untuk bahan bakar mesin diesel atau solar di Indonesia sendiri diperkirakan sejak pertengahan tahun 1980-an. Bahkan pada tahun 2022 lalu di beberapa kota terjadi antrian panjang di sejumlah Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) karena kasus kelangkaan solar. Dikutip dari media antaranews.com, permintaan solar subsidi pertamina sebanyak 16 juta kiloliter yang semula hanya ditargetkan sebanyak 14,05 juta kiloliter. Permintaan bahan bakar ini naik sekitar 14% dari tahun sebelumnya. Fenomena tersebut terjadi karena stok minyak mentah yang berasal dari fosil terus berkurang seiring dengan meningkatnya jumlah kebutuhan masyarakat. Peningkatan jumlah industri dan transportasi serta meningkatnya pusat Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) di berbagai daerah Indonesia.
Penggunaan bahan bakar fosil selain bersifat tidak dapat terbaharukan juga dapat menyebabkan berbagai masalah lingkungan. Permasalahan tersebut mengharuskan kita agar lebih peduli terhadap lingkungan hidup karena kondisi bumi kini semakin memburuk ditandai dengan adanya pemanasan global. Pemanasan global akibat efek rumah kaca dapat menyebabkan naiknya permukaan air laut karena melelehnya es di kutub. Polusi juga dapat membahayakan lingkungan terutama di kota-kota besar yang dipenuhi oleh polusi industri dan asap kendaraan. Penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) sebagai bahan bakar utama pun ikut andil dalam kerusakan lingkungan karena emisi gas buang hasil pembakaran bahan bakar mengandung senyawa karsinogenik yang membahayakan bagi kesehatan makhluk hidup. Hal ini membuat masyarakat menjadi cemas dan perlu adanya upaya alternatif bahan bakar pengganti minyak solar yang dapat diperbaharui dan ramah lingkungan (Prasetyo, 2018).
Minyak jelantah merupakan sisa dari penggunaan produk minyak nabati yang biasa digunakan untuk memasak. Minyak jelantah sendiri mempunyai karakteristik yang hampir sama dengan karakteristik yang dimiliki minyak bumi. Hal tersebut apabila diteliti lebih lanjut dapat menghasilkan bahan baku alternatif untuk pembuatan bio solar. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan nilai guna minyak jelantah sehingga dapat menghasilkan sumber bahan baku alternatif bio solar. Minyak jelantah yang awalnya dianggap tidak berguna dan berakhir dibuang akan menjadi lebih bermanfaat ketika ditingkatkan nilai mutunya (Syamsidar, 2013).
Bio solar merupakan bahan bakar alternatif yang tepat untuk mengatasi permasalahan keterbatasan sumber bahan bakar fosil karena bio solar berasal dari pencampuran minyak nabati dengan sumber utamanya adalah biji tanaman atau buah, dalam hal ini adlah pohon sawit yang jumlah melimpah di alam. Bio solar dapat dimanfaatkan sebagai pengganti bahan bakar solar. Hal ini dikarenakan komposisi kimia-fisika antara bio solar dan solar tidak jauh berbeda. Keunggulan bio solar adalah menghasilkan emisi yang jauh lebih baik (bebas sulfur dan smoke number rendah). Asap buangan bio solar tidak hitam serta dapat berkurang 75% dibanding solar biasa. Bio solar memiliki sifat biodegradable yang baik karena lebih dari 90% bio solar dapat terurai dalam 21 hari (Prasetyo, 2018).
Keunggulan dari penelitian ini dibandingkan dengan penemuan sebelumnya adalah
Nama | : | Niken Istikhari Muslihah |
Alamat | : | Jalan Martosayogo Gang Mawar No. 51, Kelurahan Teluk RT 1 RW 2, Kecamatan Purwokerto Selatan, Kabupaten Banyumas |
No. Telepon | : | 085643188133 |