Udang merupakan hasil produksi kelautan yang memiliki nilai ekonomi baik dalam pasar lokal maupun mancanegara. Dalam linkup hidupnya terdapat bakteri yang sering didapatkan menginfeksi udang vaname, salah satunya yakni bakteri Vibrio parahaemolyticus yang menyerang sistem imun suatu organisme guna melemahkan ketahanan tubuh udang vaname. Maka dari itu, aternatif lain yang dapat dilakukan guna mengganti penggunaan bahan kimia adalah biological agent yang ramah lingkungan salah satunya adalah Antimicrobial Peptides (AMPs). Lalat BSF memiliki sistem kekebalan bawaan yang dapat menghasilkan berbagai zat seperti peptida yang dapat digunakan sebagai pelindung dari bahaya bakteri, jamur, dan virus. Salah satu peptida yang telah terdeteksi keberadaannya dalam lalat BSF adalah jenis densin peptida 4 (DLP4) yang berpotensi sebagai Antimicrobial Peptides (AMPs). Penelitian ini berguna untuk mengetahui efektivitas Antimicrobial Peptides (AMPs) dari larva BSF (Black Soldier Fly) sebagai agent antibakteri vibrio parahaemolyticus penyebab penyakit vibriosis udang vaname. Analisis data yang digunakan yakni deskriptif kuantitatif. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan bahwa AMPs larva BSF memiliki karakteristik berupa kadar protein sebesar 5,2-12,03% pada percobaan pertama dan 9,19-10,82% pada percobaan kedua, kadar air pada larva BSF sebesar 4,77%-77,89% dan berat molekul mencapai 72,40 kDa. Efektifitas Antimicrobial Peptides (AMPs) larva bsf terhadap bakteri Vibrio parahaemolyticus untuk pengujian in vitro dari semua perlakuan menghasilkan daya hambat sebesar 9 mm. Sedangkan untuk pengujian in vivo Antimicrobial Peptides (AMPs) larva bsf terbaik terdapat pada perlakuan larutan AMPs 30 mL sentrifuse dengan menghasilkan aktivitas fagositosis (AF) sebesar 73,02%, dan survival rate (SR) sebesar 100%
Keyword: Antimicrobial Peptides, Larva BSF, Udang Vaname, Vibrio Parahaemolyticus.
Udang menjadi produk hasil budaya yang presentase permintaanya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam pasar lokal maupun mancanegara. Kontribusi devisa bagi Indonesia melalui udang yakni berkisar 136,3 ribu ton yang setara dengan US$ 1,13 miliar (Mo, 2017) dengan volume ekspor terbesar yakni ke Amerika Serikat sebesar US$ 938 juta (Katadata KKP, 2016). Hal ini menjadi bukti kesuksesan para nelayan dalam mengembangkan budidaya udang di perairan tanah air. Udang vaname (Litopenaeus vannamei) adalah jenis udang yang menjadi salah satu komoditas andalan. Hal tersebut dikarenakan udang jenis ini memiliki tingkat kelangsungan hidup yang tinggi, waktu pemeliharaan yang singkat yaitu berkisar 90 – 100 hari serta mudah untuk dibudidayakan (Amirna dkk, 2013) sehingga banyak para petambak udang di Indonesia yang banyak menjadikannya sebagai usaha yang keuntungannya dapat dibilang cukup menjanjikan. Sebagai salah satu produk unggul bangsa, udang vaname memiliki ketahanan tubuh yang cukup baik dari serangan penyakit jika dibandingkan dengan spesies udang lainnya. Namun, dari kenyataan ini tidak bisa dimungkiri bahwa didalam suatu ekosistem perairan masih banyak peluang masuknya patogen ke dalam suatu jaringan makhluk hidup yang mana hal ini juga akan berpengaruh vatal terhadap kualitas gizi akibat toksisitas mikroorganisme yang mengontaminasi. Jenis mikrooganisme yang banyak ditemukan sebagian besar mencemari kalangan seafood seperti udang vaname adalah bakteri dari genus Vibrio, salah satu bakteri yang bersifat patogen dari genus ini adalah Vibrio parahaemolyticus (Lay, 1992). Serangan pada bakteri ini berdampak pada nasib para nelayan tambak udang yang tidak sedikit melakukan gulung tikar akibat kerugian yang bisa dikatakan cukup besar. Gejala klinis udang vaname yang terinfeksi oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus diantaranya yaitu terdapat jaringan otot mati yang ditandai dengan perubahan warna tubuh yang kemerahan, sedangkan udang vaname yang sehat akan menunjukkan warna tubuh yang bening dan transparan. Selain itu juga terdapat bercak hitam dibagian kaki renang, kemudian usus yang kosong (Jannah, et al., 2018). Gejala klinis berdasarkan morfologi ditandai dengan karapas yang melunak tidak menempel pada tubuh, sedangkan gejala eksternal yang terjadi adalah warna tubuh yang gelap diikuti dengan melanisasi badan dan ekor (Sumini & Kusdarwati, 2020). Dari permasalahan tersebut dibutuhkannya suatu solusi guna menekan laju pertumbuhan bakteri Vibrio parahaemolyticus. Upaya pencegahan yang dominan dilakukan oleh kalangan masyarakat diera pengetahuan yang semakin luas ini adalah dengan pengaplikasian antibiotik berbahan dasar kimia. Namun, penggunaan antibiotik yang tidak rasional akan menimbulkan dampak negatif, seperti terjadinya kekebalan mikroorganisme terhadap beberapa antibiotik, meningkatnya efek samping obat dan bahkan berdampak kematian (Rina, 2007). Maka dari itu, pengendalian penyakit bakterial pada budidaya udang dianjurkan menggunakan bahan yang ramah lingkungan serta mudah untuk didapatkan (Muliani, et al., 2003). Alternatif lain yang dapat dilakukan guna mengganti penggunaan bahan kimia adalah dengan biological agent yang ramah lingkungan, salah satunya yakni Antimicrobial Peptides (AMPs), oligopeptida alami yang tersusun atas asam amino dengan spektrum antibiotik yang luas serta berpotensi sebagai agen terapeutik baru (Ambrosio et al., 2020), termasuk juga didalamnya adalah peptida antiparasit yang berspektrum luas dan memiliki selektivitas tinggi, toksisitas rendah dan tingkat resistensi yang rendah (Torres et al., 2018). AMPs memiliki beberapa karakterisitik lebih baik dibandingkan antibiotik lainnya, hal ini disebabkan karena sifatnya yang stabil, memiliki potensi dan mekanisme aksi mengganggu membran sel bakteri, menghambat metabolisme bakteri, mencegah terjadnya resistensi pada bakteri target (Rodríguez-Rojas et al., 2014) serta yang paling utama jumlahnya di alam tersedia cukup melimpah jadi tidak menyebabkan kompetisi dalam pemenuhan kebutuhan manusia.
Lalat Tentara Hitam (Hermetia illucens) atau yang lebih dikenal dengan sebutan black soldier fly (BSF) adalah salah satu jenis insekta yang berasal dari wilayah Amerika yang selanjutnya tersebar ke wilayah subtropis dan tropis di dunia (?i?ková et al. 2015). BSF dalam lingkup budidaya dapat dikatakan mudah untuk dikembangkan dalam skala produksi massal. Larva BSF juga memiliki sistem kekebalan bawaan yang dapat menghasilkan berbagai zat seperti peptida (Choi et al,. 2018) yang dapat digunakan sebagai pelindung dari bahaya bakteri, jamur, dan virus. Salah satu peptida yang telah terdeteksi keberadaannya dalam lalat BSF adalah jenis densin peptida 4 (DLP4). Pada suatu temuan berupa kasus ketika Staphylococcus yang resisten methicillin aureus (MRSA) lalu diobatinya dengan DLP4 pada dosis mulai dari 3 mg/kg sampai 7,5 mg/kg sekitar 80-100% menunjukkan bahwa DLP4 dapat berpotensi menjadi kandidat yang cukup menjanjikan dalam digunakannya sebagai Antimicrobial Peptides (AMPs) (Li et al., 2017). Oleh karena itu, melihat potensi yang dimiliki oleh lalat BSF menarik minat peneliti untuk melakukan serangkaian penelitian berupa penggunaannya sebagai Agent Biological Antimicrobial Peptides (AMPs) untuk mengetahui seberapa besar pengaruhnya pada udang vaname yang terjangkiti penyakit vibriosis oleh bakteri Vibrio parahaemolyticus. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi solusi untuk menekan laju pertumbuhan bakteri Vibrio Parahemolyticus yang mengkontaminasi jaringan tubuh udang vaname sehingga dapat menghasilkan produksi udang vaname yang lebih berkualitas dan bisa meningkatkan pendapatan perkapita para nelayan di Indonesia yang mana hal ini juga nantinya diharapkan ikut berimbas pada peningkatan devisa sektor perikanan Indonesia terhadap komoditas ekspor ke beberapa negara di seluruh penjuru dunia.
1. Mampu membunuh bakteri patogen tanpa menimbulkan dampak negatif dan efek resistensi
2. Memiliki survival rate tinggi
3. Bahan dasar berupa lalat BSF mudah dibudidayakan dan memiliki pertumbuhan yang cepat
Nama | : | Ahmad Edi Darmawan |
Alamat | : | Jl. Conge Ngembalrejo, Ngembal Rejo, Ngembalrejo, Kec. Bae, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59322 |
No. Telepon | : | 08952916509 |